Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Mei 2009

EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI (Telaah atas Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul)

A. Pendahuluan
Al-Ghazali merupakan seorang intelektual muslim yang banyak menghasilkan karya monumental dalam kazanah keilmuan Islam. Dia bukan saja seorang teolog, filosuf atau tokoh sufi, akan tetapi juga seorang ahli hukum Islam, terutama bidang ushul fikih. Sayangnya, pada umumnya para penulis dan peneliti, baik dari kalangan dunia Islam maupun dunia Barat sering “mengangkat” al-Ghazali sebagai teolog, sufi atau filosuf, dan jarang sekali yang menyoroti keahliannnya dalam bidang hukum Islam.


EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI (Telaah atas Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul)
OLEH: IMAM MUSTOFA

A. Pendahuluan
Al-Ghazali merupakan seorang intelektual muslim yang banyak menghasilkan karya monumental dalam kazanah keilmuan Islam. Dia bukan saja seorang teolog, filosuf atau tokoh sufi, akan tetapi juga seorang ahli hukum Islam, terutama bidang ushul fikih. Sayangnya, pada umumnya para penulis dan peneliti, baik dari kalangan dunia Islam maupun dunia Barat sering “mengangkat” al-Ghazali sebagai teolog, sufi atau filosuf, dan jarang sekali yang menyoroti keahliannnya dalam bidang hukum Islam.
Salah satu karya al-Ghazali yang monumental dalam bidang ushul fikih adalah kitab Al Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul. Kitab ini ditulis setelah kepulangannya dari pengembaraan akibat krisis kepribadian yang dia alami. Selain kebesaran nama al-Ghazali, pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalam dalam buku inilah yang membuat kitab ini semakin populer. Al-Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam.
Pada dasarnya membahas pemikiran al-Ghazali bukanlah hal yang mudah, karena alur pemikirannya memang susah dipetakan. Seperti pada satu kesempatan di dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin ia menyatakan bahwa ilmu Fikih dan ushul fikih adalah ilmu dunia, namun pada kesempatan lain, dalam kitab al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul ia menyatakan bahwa ilmu ushul fikih dan ushul fikih adalah ilmu yang paling mulia, karena di dalamnya ada keterpaduan antara akal dan wahyu. Untuk lebih mempermudah pembacaan terhadap pemikirannya, pembahasan dalam makalah ini akan diarahkan pada al-Ghazali dalam kapasitas dia sebagai seorang ahli ushul fikih (ushuliyyun).
Makalah ini akan membahas sekilas tentang pandangan intelektual al-Ghazali tentang hukum Islam dalam kitab Al Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul. Pembahasan dalam makalah ini mencakup sketsa kehidupan al-Ghazali, integrasi ilmu kalam dengan ushul fikih dalam al-mustashfa, tinjauan umum tentang hukum Islam, konstruk hirarki sumber hukum Islam dan terakhir adalah tentang metode penemuan hukum al-Ghazali.


B. Sketsa Kehidupan al-Ghazali
Al-Ghazali lahir ada tahun 450 H (1058 M) di Thus, sebuah kota di Khurasan (Iran) yang diwarnai berbagai macam paham keagamaan serta dihuni oleh golongan Islam Sunni, Syi’ah dan orang-orang Kristen. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhamad al-Ghazali. Nama al-Ghazali diambil dari tempat kelahirannya, Ghazalah sehingga disebut al-Ghazali.
Lingkungan pertama yang turut membentuk kesadaran pemikiran al-Ghazali adalah kelaurganya. Ayahnya tergolong orang yang sangat sederhana dan memiliki semangat keagamaan yang kuat. Sebelum ayahnya meninggal, al-Ghazali ditipkan kepada temannya, Yusuf Nassaj seorang sufi yang sangat sederhana. Suasana rumah tangga gurunya yang sufi ini merupakan lingkungan kedua yang dijalani al-Ghazali hingga sampai umur lima belas tahun (465 H.). Namun ketika sufi ini merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, AL-Ghazali sekolah dan belajar fiqh dan ilmu-ilmu dasar dari Farmadhi dan Ahmad ibn Muhammad al-Radzakani di Thus serta dari Isma’il di Jurjan, antara tahun 465-470 H.
Tahun 473 H al-Ghazali pergi ke Naishabur untuk belajar di Madrasah Nizamiyyah, ketika al-Juwaini yang juga mempunyai simpati terhadap tasawuf menjadi staf pengajar di sana. Dari Juwaini atau Imam al-Haramain inilah ia memperoleh berbagai ilmu, mulai dari Kalam, filsafat, mantiq, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Waktu itu Madrasah Nidzamiyah memang didirikan untuk mengimbangi madzhab al-Azhar di Mesir yang dibangun untuk membina kader-kader bagi madzhab Syi’ah.
Setelah al-Juwaini wafat pada tahun 478 H. karir akademik al-Ghazali semain meningkat. Intelektualnya yang cemerlang dan didikan sang guru serta faktor kedekatan al-Ghazali dengan Nizham al-Mulk, Wazir Taghril-beg Alp arselan (1063-2072 M.) dan Malik Syah (1072-1092 M.) sebagai tokoh asy’ariyyah terkemuka di Persia, mengantarkannya ke pusat pemerintahan dan menjadi rektor Nizamiyyah yang ke sembilan pada usia 28 tahun. Perdana Menteri Nizham juga merekrutnya sebagai pemimpin ulama Kalam dan hukum yang memberi pengesahan atas keputusan-keputusan pemerintah. Ini berarti al-Ghazali selain meraih puncak karir di bidang pendidikan juga prestasi dalam pemikiran, yakni sebagai pendukung kuat aliran Asy’ariyyah di bidang Kalam dan Madzhab Syafi’i di bidang fiqh.
Dari latar belakang itu, al-Ghazali setidaknya secara metodologis telah mempelajari sistem pemikiran yang berbeda. Model fiqh yang formalis, “kalam’ (pasca Mu’tazilah) yang rasionalis dan tasawuf yang intuitif, yang dipelajarinya dari Yusuf al-Nasaj. Belum lagi lagi penyelamannya tentang ajaran Ta’limiyyah-Bathiniyyah dan penguasaanya terhadap pemikiran filsafat.
Pada usia al-Ghazali yang ke-36, terjadilah perubahan yang sangat menetukan dalam kehidupan dan pemikiran al-Ghazali. Ia mengalami kesangsian terhadap apa yang telah diperolehnya selama ini. Perubahan semacam krisis kepribadian dalam yang sangat berat dalam semangat dalam mencari kepastian intern yang bisa mengantarkan dan memberi garansi terhadap kebenaran.
Baru setelah menyelesaikan karya tologi dogmatik (Kalam Asy’ariayyah), yakni al-I’tiqad fil I’tiqad, al-Ghazali kemudian meninggalkan Bagdad, mengembara selama sepuluh tahun menjalani kehidupan sebagai layaknya para sufi. Ia berhaji, menyendiri dan mengembara menuju dunia Islam menuruti kemauan hatinya untuk mencari kepastian ilmu hakiki. Ia ke Damaskus dan Jerusalem, ke Iskandariah dan Kairo, ke Makkah dan Madinah, serta Syiria. Selama tinggal di Syiria inilah al-Ghazali mengajar disalah satu pojok Masjid Umawi, Damaskus dan menulis karyanya yang terbesar, Ihya’ al-‘Ulum al-Din. Ia mencurahkan seluruh waktunya untuk bermeditasi dan menjalani praktek-praktek spiritual layaknya para sufi. Setelah ‘krisis kepribadian” ini memuncak dan keraguannya telah sirna ia kembali lagi ke desa kelahirnnya, mengajar lagi beberapa tahun di Nisapur. selama di Nisapur inilah al-Ghazali merampungkan sebuah karya di bidang ushul fiqh, al-Mustasfa min ‘Ilmi al-Ushul. Akhirnya ia meninggal dunia di Thus, 19 Desember, 501 H/111 M. di usia 52 tahun menurut perhitungan tahun Masehi atau 55 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah. Karya terakhir al-Ghazali adalah kitab teologi Islam, yakni Iljam al-Awam ‘an ‘Ilmi al-Kalam.

C. Al-Mustashfa: Integrasi Ilmu Kalam dengan Ushul Fikih
Secara umum, melalui kitab al-Mustashfa ini al-Ghazali berusaha memadukan akal dan wahyu dalam teori hukumnya. Upaya ini dilakukan al-Gahzali melalui: pertama, mendekatkan bahkan mengintegrasikan antara dua sistem pengetahuan Islam bayani yang bertitik tolak pada teks-teks, khususnya wahyu dan sistem pengetahuan burhani yang berlandaskan nalar independen manusia. Kedua, melalui introduksi maqashid syariah. Mengenai integrasi akal dan wahyu ini dalam pendahuluan kitabnya tersebut al-Ghazali menegaskan:
“أشرف العلوم ما ازدوج فيه العقل والسمع واصطحب فيه الرأي والشرع ، وعلم الفقه وأصوله من هذا القبيل فإنه يأخذ من صفو الشرع والعقل سواء السبيل، فلا هو تصرف بمحض العقول بحيث لا يتلقاه الشرع بالقبول ولا هو مبني على محض التقليد الذي لا يشهد له العقل بالتأييد والتسديد.”
Al-Ghazali juga membicarakan tentang mantik (logika) dan kaitannya denga hukum Islam, fikih dan ushul fikih. Al-Ghazalilah yang bertanggung jawab membawa ilmu mantiq ke dalam ushul fikih. Pada dasarnya al-Ghazali menyadari bahwa ilmu mantiq tidak berkaitan dengan ushul fikih. Tapi ia menganggapnya penting untuk diketahui. Bahkan ia menyatakan bahwa menguasai ilmu mantiq sangat penting sehingga barang siapa tidak menguasainya, maka ilmunya sama sekali tidak dapat dipercaya. Maka wajarlah apabila al-Ghazali secara terang-terangan menjadikan mantiq Aristo sebagai salah satu syarat sah ijtihad.
Usahanya untuk memadukan antara akal dan wahyu ini memang cukup berani, karena sebelumnya Syafi’i yang telah berusaha dan diklaim sebagai tokoh yang memadukan antara wahyu dan akal, akan tetapi ia tidak seberani al-Ghazali. Karena ketika berbicara masalah dalil ‘aqli, khususnya yang terkait dengan Istihsan, yafi’I menyatakan bahwa barang siapa yang menggunakan Istihsan sebagai dalil hukum maka ia telah membuat syari’at. Begitu juga dengan ulama ushul fikih pada masa setelah al-Ghazali, al-Syatibi yang diklaim sebagai bapak Maqashid al-Syari’ah tidak seradikal al-Ghazali dalam usaha pemaduan antara akal dan wahyu. Dalam kitab al-Muwafaqat ia menyatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara wahyu dan akal, maka yang dimenangkan adalah wahyu, dan tidak dibenarkan akal melakukan penalaran kecuali sesuai dengan wahyu. Dalam hal ini, perlu ditegaskan kembali sikap Asy-Syatibi mengenai kedudukan akal dan teks, termasuk ketika keduanya bertabrakan. Asy-Syatibi memang sering disebut-sebut sebagai “Bapak Mashlahat”, tapi sikap beliau—dan juga ulama malikiyyah yang lain—dalam memandang kedudukan akal dan teks tetaplah jelas dan tegas, sehingga tidak keluar dari konsensus ulama. Beliau mengatakan: “Bila akal bertentangan dengan teks maka, sesuai syarat didahulukannya teks sehingga akal menjadi mathbu’, dan diakhirkannya akal sehingga akal menjadi tabi’, akal tidak boleh menggembala dalam lapangan pendapat kecuali sebatas penggembalaan teks (la yasrah al-‘aql fi majal al-nadzr illa bi qadri ma yusarrihuhu al-naql)”. Dengan kata lain, jika ada benturan antar akal dan teks, maka akal harus tunduk pada teks.
Mengenai alasan mengapa akal tidak boleh melampaui pagar yang ditetapkan teks (al-naql), beliau memberikan beberapa argumen, diantaranya: (a) apabila akal boleh menyalahkan batasan yang tertera dalam naql, lalu apa gunanya naql memberikan batasan/aturan? (b) kalau boleh demikian, maka nanti pasti akan diperbolehkan untuk membatalkan syari’at dengan akal, dan ini jelas batil. Kandungan syari’at secara global adalah batasan-batasan untuk perbuatan, perkataan, dan i’tikad mukalllaf. Jika ada satu saja batasan tersebut boleh dibatalkan dengan akal, maka berarti semua batasan juga boleh, sebab ma tsabata li al-syay’ tsabata li ghayrih. Dalam hal ini, perlu ditegaskan kembali sikap Asy-Syatibi mengenai kedudukan akal dan teks, termasuk ketika keduanya bertabrakan. Asy-Syatibi memang sering disebut-sebut sebagai “Bapak Mashlahat”, tapi sikap beliau—dan juga ulama Malikiyyah yang lain—dalam memandang kedudukan akal dan teks tetaplah jelas dan tegas, sehingga tidak keluar dari konsensus ulama. Beliau mengatakan: “Bila akal bertentangan dengan teks maka, sesuai syarat didahulukannya teks sehingga akal menjadi mathbu’, dan diakhirkannya akal sehingga akal menjadi tabi’, akal tidak boleh menggembala dalam lapangan pendapat kecuali sebatas penggembalaan teks (la yasrah al-‘aql fi majal al-nadzr illa bi qadri ma yusarrihuhu al-naql)”. Dengan kata lain, jika ada benturan antar akal dan teks, maka akal harus tunduk pada teks.
Sikap al-Syatibi di atas berbeda dengan al-Ghazali yang menyatakan akal dan wahyu berjalan beriringan dan saling bersinergi sebagaimana dijelaskan di atas. Lebih jauh ia mengatakan:
Ketahuilah bahwa akal tidak akan mendapat bimbingan tanpa syara’, dan syara’ tidak akan menjadi jelas tanpa akal. Akal seperti fondasi dan syara’ seperti bangunan; suatu fondasi tidak berguna tanpa bangunan dan bangunan tidak akan kokoh tanpa fondasi. Akal juga dapat diibaratkan seperti mata dan syara’ seperti sinar; mata tidak akan dapat melihat selama tidak ada sinar dari luar, dan sinar tidak akan bermanfaat untuk melihat apabila tidak ada mata ... ... ... Maka syara’ tanpa akal tidak dapat menjelaskan sesuatu dan akan menjadi sia-sia seperti sia-sianya sinar tanpa ada mata; dan, sebaliknya, akal tanpa syara’ tidak mampu menjelaskan banyak hal seperti tidak mampunya mata untuk melihat tanpa adanya sinar.
Ulama lain yeng berpendapat tentang posisi akal dari nash adalah Ibnu Taimiyah. Sebagaimana dikutip oleh Munirul Abidin ia berkata:
“Akal bukan dasar (pokok) untuk menetapkan syariat, walaupun ia merupakan jalan mendapatkan pengetahuan, karena suatu yang ada akan tetap pada keadaannya, baik kita ketahui maupun tidak. Maka dari itu, syariat akan tetap ada baik kita mengetahuinya dengan akal maupun tidak. Itulah kaidah agung, bahwa sesuatu yang ada akan tetap adanya, baik diketahui oleh seseorang maupun tidak. Inilah perbandingan antara akal dan syariat”
Filosuf terkemuka, Plato, berpendapat sebagaimana dikutip oleh Saiful Anwar bahwa jika indra kita bisa tertipu oleh kesimpulan akal yang keliru, semisal pohon yang tegak lurus namun tampak bengkok di dalam air, dan apa yang kita sangka air ternyata hanya sebuah fatamorgana, lalu bagaimana akal bisa diandalkan hingga kita tahu bahwa kita tidak tertipu. Maka jelaslah bahwa kebenaran harus datang dari tempat lain dan akal membutuhkan pertolongan. Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa “Akal mempunyai garis-garis yang tegas membatasi kemampuannya. Otak hanya satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah swt. Berdasarkan hal ini, dapatlah anda mengerti akan kekeliruan seseorang yang mendahulukan akal, serta betapa keterbatasan pemahaman dan keredupan pendapatnya.
Hasan al-Halabi mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan “Akar kesesatan orang yang sesat adalah mendahulukan logikanya di atas nash yang diturunkan dari sisi Allah swt. Dan kecenderungannya pada keinginan nafsu berada di atas prinsip ketaatan terhadap perintah Allah swt. “Barang siapa keluar dari norma-norma syar’i (qanun nabawi yang telah ditunjuk oleh Al-Qur’an dan Sunnah), pasti ia perlu membuat qanun lain yang berseberangan, yang ditolak oleh akal dan agama. Ia tidak mau bersandar pada Al-Qur’an, al-Sunnah dan atsar para sahabat dan tabi’in, melainkan mengandalkan akalnya dan permainan bahasa.
Menurut hemat penulis sehebat apapun akal, tetap saja merupakan salah satu komponen dalam diri manusia, sehingga ia tidak bisa dilepaskan dari konsep keterbatasan dan relatifitas manusia itu sendiri. Pengalaman sejarah—baik dulu maupun sekarang—selalu membuktikan betapa terbatasnya akal manusia. Meminjam ungkapan Muhammad ‘Imarah, seringkali terbukti bahwa adakalanya di saat sekarang, akal tidak mengetahui suatu hal, yang ternyata diketahuinya di waktu yang akan datang (tajhal al-yawm ma ta’lamuhu ghadan). Selain itu, apa yang diketahui oleh akal orang yang satu, juga belum tentu diketahui oleh orang lain (ma yaqshur ‘anhu ‘aql al-wahid yablughuhu ‘aql al-ghair). Dengan demikian, maka akal itu jelas bersifat terbatas dan relatif.
Mengenai integrasi ushul fikih dengan ilmu kalam, di tangan al-Ghazalilah terjadi titik klimaks integrasi kedua ilmu ini. Jauh sebelum al-Ghazali, pada dasarnya sudah ada usaha-usaha untuk memadukan antara ushul fikih dengan ilmu kalam dan filsafat. Ini dapat kita telusuri pada pemikiran al-Qadhi abdul Jabbar dari kalangan mu’tazilah dan al-Qadhi abu al-Tayyib al-Baqillani dari Asy’ariyah. Kedua tokoh inilah yang pertama kali memasukkan persoalan-persoalan teologis-filosofis, termasuk isu-isu epistemologi ke dalam ushul fikih. Al-Qadhi Abdul Jabbar menulis buku yang berjudul al-‘Umad. Buku ini diberi komentar oleh seorang tokoh mu’tazilah lain, bernama Abu Husain al-Basri, yang kemudian menulis kitab al-Mu’tamad. Dalam muqaddimah kitab ini dia menjelaskan bahwa secara eksplisit akan membahas isu-isu yang berhubungan dengan epistemologi seperti tentang klasifikasi ilmu dharuri dan muktasabah, dan seterusnya.
Ulama berikutnya yang berusaha melakukan pemaduan ini adalah Imam al-Baqillani. Ia menyadari bahwa concern ushul fikih sebenarnya adalah dalil. Tapi, seperti Abu al-Husain, dia tidak menjadikannya sebagai topik prioritas. Dalam kitab al-Thariq wa al-Irsyad, al-Baqillani memulai penjelasan tentang hakikat ilmu, akal, nalar, klasifikasi dan kategori ilmu dan seterusnya. Menurutnya hal ini perlu dilakukan karena dalil dan madlul, hukum akal dan syara’ dan lain-lain merupakan obyek ilmu. Obyek ini tidak bisa diketahui selama esensi ilmu dan segala yang berhubungan dengannya tidak diketahui. Oleh sebab itu membahas masalah dalil dalam fikih tidak terlepas dari pembahasan tentang ilmu. Usaha al-Baqillani ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, al-Juwaini dengan menulis kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh.
Ushul fikih memang tidak terpisah dari ilmu kalam. Karena ia dibangun atas postulat-postuat ilmu kalam. Ushul fikih hanya memahas sesuatu yang sudah dibuktikan benar oleh ilmu kalam. Prinsip naskh-mansukh, khas, haqiqah, majaz dan lain sebagainya dibangun atas kebenaran. Al-Quran, bahwa ia benar-benar kalam Allah. Andaikan postulat kalam ini masih diragukan maka seluruh prinsip metodologi tadi dengan sendirinya juga akan runtuh.
Namun demikian terdepat sekat jelas yang membatasi keduanya. Tentang kebenaran al-Quran dan Nabi, ini merupakan ranah ilmu kalam dan di luar kajian ushul fikih. Karena yang dibahas dalam ushul fikih merupakan hal sudah terbukti kebenarannya yang sebelumnya dilakukan oleh ilmu kalam.
Menurut al-Ghazali ilmu kalam pada dasarnya merupakan prinsip dasar epistemologi seluruh ilmu-ilmu Islam seperti fikih, ushul fikih, tafsir dan hadits. Karena melalui ilmu inilah kebenaran al-Quran, sunnah dan nubuwwah Rasulullah saw mendapat affirmasi. Al-Ghazali memposisikan ilmu kalam sebagai ilmu kuliyyah (universal) sementara yang lain disebut juziyyah (partikular). Ia disebut juziyyah karena bidang kajian yang digarap hanya terbatas pada aspek tertentu saja, fikih misalnya, hanya membahas aspek hukum perbuatan manusia aja, sementara tafsir hanya membahas makna kitab semata. Garapan ushul fikih juga hanya terbatas dalil syara’ saja dan hadits sebatas otentisitas. Hal ini berbeda dengan ilmu kalam, bidang kajiannya lebih luas dan lebih umum. Ia bukan membahas aspek hukum al-Quran, akan tetapi mengenai al-Quran itu sendiri, apakah ia benar kalam Allah atau sebaliknya, bersifat qadim atau tidak. Demikian juga, ilmu kalam tidak mengkaji otentisitas hadits shahih atau saqim, mutawatir atau ahad. Kajiannya adalah tentang kebenaran nubuwwah Muhammad. Al-Ghazali menuliskan:
فالعلم الكلي من العلوم الدينية هو الكلام وسائر العلوم من الفقه وأصوله والحديث والتفسير علوم جزئية ، لأن المفسر لا ينظر إلا في معنى الكتاب خاصة والمحدث لا ينظر إلا في طريق ثبوت الحديث خاصة ، والفقيه لا ينظر إلا في أحكام أفعال المكلفين خاصة ، والأصولي لا ينظر إلا في أدلة الأحكام الشرعية خاصة والمتكلم هو الذي ينظر في أعم الأشياء وهو الموجود.
Uraian di atas setidaknya memberikan gambaran tentang usaha al-Ghazali untuk meneruskan apa yang telah dirintis ulama-ulama sebelumnya dalam memadukan ilmu kalam dan ushul fiqih serta mengintegrasikan wahyu dan akal. Pemaduan dan integrasi ini mempunyai sumbangan yang cukup besar dalam usha pengembangan hukum Islam sampai era modern sekarang ini.
D. Hukum Islam: Syariah, Fikih dan Hukum Syar’i
Pembahasan hukum Islam di sini fokus pada konsep umum mengenai hukum Islam tersebut. Untuk dapat menagkap pengertian hukum Islam secara lebih komprehensif, nampaknya perlu dikaji istilah-istilah yang terkait erat dengan kajian hukum Islam, yaitu syari’ah, fikih dan hukum syar’i.
Secara etimologi, syariah berasal dari bahasa Arab al-syari’ah dan sinonim daengan kata al-syir’ah yang artinya adalah jalan menuju mata air. Sedangkan dari segi istilah, al-Tahtawi, sebagaimana dikutip oleh Syamsul Anwar mendefinisikan:
syari’ah adalah norma-norma hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang nabi –semoga Allah melimpahkan kesejahteraan dan kedamaian kepada mereka dan kepada Nabi kita- baik norma-norma itu berkaitan dengan tingkah laku dan disebut norma-norma hukum cabang atau norma-norma hukum mengenai tingkah laku dan untuk mengkajinya disusunlah ilmu fikih, maupun berkaitan dengan keyakinan dan dinamakan norma-norma pokok agama atau norma-norma kepercayaan, dan untuk mengkajinya disusunlah ilmu kalam (teologi). Syara’ (syari’ah) dinamakan pula al-din atau al-millah.

Kedua, yaitu fikih. Fikih diambil dari kata Arab al-fiqh yang dalam bahasa Indonesia berarti faham, mengerti atau mengetahui. Kemudian dikembangkan pengertian “pengetahuan dan pemahaman mendalam mengenai sesuatu.” Al-Ghazali mendefinisikannya sebagai ilmu hukum yang mengkaji hukum-hukum syar’i yang ditetapkan mengenai tingkah laku orang-orang yang menjadi subyek hukum, seperti hukum wajib, haram, mubah, sunnat dan makruh serta sah fasid, atau batalnya suatu akad dan seterusnya.
Perlu ditekankan bahwa fikih berbeda dengan syari’at. Syari’at lebih luas dari sekedar hukum saja, ia mencakup fikih, aqidah dan akhlaq. Karakteristik utama syari’at adalah ia bersifat permanen, sementara fikih bersifat relatif dan fleksibel. Ia dapat berubah seiring dengan peredaran waktu, ia merupakan produk ijtihad ulama. Tapi ini bukan berarti fikih sebagai pemikiran ulama semata, ia masih berkaitan erat dengan syari’at. Sebagaimaa syari’at, yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, demikian juga fikih, berlandaskan kepada kedua sumber primer Islam ini. Oleh sebab itu fikih yang bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran dan al-Sunnah tidak bisa dikategorikan fikih Islam.
Dalam Islam fikih mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang dimaksud hukum positif di sini adalah bahwa fikih berfungsi sebagai hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Dari segi hukum taklifi yang mencakup wajib, sunah, mubah,makruh dan haram pun lebih merupakan etika atau moral.
Sementara itu hukum syar’i adalah ungkapan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf baik berupa tuntutan (melaksanakan dan meninggalkan) atau memilih antara keduanya. Secara garis besar hukum syar’i dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi yang mencakup wajib, mandub, haram, makruhdan mubah. Kedua adalah hukum wadh’i yang terdiri sabab, syarat, mani’, rukhshah dan ‘azimah serta sihhah dan buthlan.
Pemahaman di atas perlu dimengerti agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan hukum Islam lebih lanjut. Setelah membahas tinjauan hukum Islam secara umum, maka berikut ini akan dibahas tentag epistimologi hukum Islam menurut al-Ghazali.
E. Konstruksi Hirarkis Epistemologi Hukum Islam
Imam Al-Syafi’I dalam al-Rislah yang diklaim sebagai pioneer kitab ushul fikih, menyatakan:
ليس لاحد أبدا أن يقول في شئ حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو القياس
Ungkapan syafi’i di atas oleh kalangan ulama dipahami sebagai format hirakis epistemologi hukum Islam. Dalam Ushul fikih, al-Quran, sunnah, Ijam’ dan Qiyas disebut sebagai adillah.
Format hirarkis yang dibuat Syafi’I ini telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam sejarah pemikiran Islam. Terbukti sejak itu, format ini tidak pernah mengalami gugatan dan kritik. Para ulama seolah memperlakukannya sebagai sesuatu yang taken and granted. al-Juwaini dalam al-Burhan menyebutkan bahwa dalil fiqih adalah teks al-Quran, teks Sunnah mutawatir dan ijmai’. al-Ghazali dengan tegas juga menyatakan bahwa sumber hukum Islam ada empat, pertama, al-kitab (al-Quran); kedua, sunnah; ketiga, ijma’ (consensus); keempat, dalil akal:
“أدلة الأحكام وهي أربعة : الكتاب ، والسنة ، والإجماع ، ودليل العقل المقرر على النفي الأصلي.”
Format hirarkis di atas mempunyai implikasi yang cukup besar, salah satunya adalah segala jenis ilmu, dari manapun ia diderivasi harus sesuai dengan standar al-Quran, dan tidak boleh bertentangan, khususnya dalam hal hukum. Kedua dasar dan sumber hukum yang pertama (al-Quran dan sunnah) ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran.
Menurut al-Ghazali pada dasarnya dasar hukum hanya satu, yaitu al-quran. Al-Sunnah, bukanlah sumber hukum dan tidak pula menetapkan, akan tetapi ia hanya memberitahukan dan menjelaskan bahwa Allah menetapkan demikian, hanya saja melalui Nabi Muhammad saw. Namun sudah menjadi pemahaman umum bahwa kedudukan sunnah dalam hirarki hukum Islam berada setelah al-Quran. Begitu juga dengan ijma’, pada dasarnya ijma’ bersumber dari Nabi, karena ijma’ menunjukkan bahwa para ulama menyandarkan ijtihad mereka pada sabda nabi, sedangkan apa yang disampaikan Nabi berasal dari Allah.
Berbeda dengan al-Quran yang keseluruhannya dijamin benar, al-sunnah tidak demikian. Karena tidak seluruh sunnah qath’I al-wurud. Hanya yang qath’I al-wurud dalam hadits mutawatir , yang dijamin kebenarannya. Mengenai khabar mutawatir ini al-Ghazali memberikan beberapa syarat, antara lain hadis tersebut harus diriwayatkan sekelompok orang berdasarkan pengetahuan yang pasti dan bukan berdasar pada prasangka. Riwayat tersebut jug harus berdasar pada bukti empiris, serta jumlah rawi yang meriwayatkan sunnah tersebut harus stabil baik kualitas maupun kuantitasnya. Sementara itu, al-Amidi menyatakan bahwa khabar ahad dapat diterima dengan syarat perawinya harus Islam, mukallaf, dapat dipercaya (tsiqqah dan dhabith) serta adil.
Membahas masalah sunnah dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam, maka tidak terlepas dari peran imam Syafi’I. Karena dialah yang pertama kali yang memformulasikan konsep sunnah dan hadits, serta otoritas hadit ahad.
Usaha mengkonseptualisasikan sunnah sebenarnya didorong oleh relitas saat itu, di mana sunnah telah dipahami secra arbitrari. Bahkan tidak jarang terjadi percampuran antara sunnah nabi dengan sunnah sahabat, sunnah dalam arti tradisi yang berkembang, dan dengan pendapat individual. Syafi’I kemudian merevolusi makna sunnah dengan hanya membatasinya kepada Rasulullah, tidak kepada yang lain. Dia kemudian mengidentikkan sunnah dengan hadist. Artinya sunnah nabi hanya bisa diketahui melalui jalur hadits shahih. Hadits sahih menurut Syafi’i adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang dapat dipercaya (tsiqqah) dan dari orang yang terpercaya juga hingga sampai pada rasulullah saw, dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits shhih yang lain (zyadz).
Sumber hukum selanjutnya adalah ijma’. Menurut al-Syairazi Ijma’ merupakan hujjah yang qath’I bagi kasus hukum yang baru dan tidak ditemukan dalilnya dalam nash. Ijma’ dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian pertama, ijma’ al-ummah (kesepakatan masyarakat muslim secara keseluruhan) dan kedua, ijma’ al-ulama. Termasuk dalam kategori ijma’ adalah ijma’ para sahabat. Menurut al-Syaukani ilmu tentang hal-hal yang sudah menjadi ijma’ merupakan salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Tujuannya adalah supaya seorang mujtahid tidak memberikan fatwa yang bertentangan dengan keputusan ijma’. Kalangan syi’ah imamiyah tidak mengakui kehujjahan ijma’ namun demikian mereka mengakui bahwa di alam ijma’ ada hujjah.
Sumber hukum keempat adalah dalil akal dan istishhab. Di sini al-Ghazali menegaskan pandangannya bahwa hukum-hukum syar’ tidak dapat ditemukan melalui akal. Fungsi dalil akal di sini adalah untuk menegaskan tiadanya hukum apabila tiada dalil sam’i yang menetapkan hukum itu, dan ini dapat diketahui oleh akal. Kelangsungan ketiadaan hukum selama belum ada dalil yang menetapkan adanya disebut istishhab. Al-Ghazali menjelaskan:
أن الأحكام السمعية لا تدرك بالعقل ، لكن دل العقل على براءة الذمة عن الواجبات وسقوط الحرج عن الخلق في الحركات والسكنات قبل بعثة الرسل عليهم السلام وتأييدهم بالمعجزات .وانتفاء الأحكام معلوم بدليل العقل قبل ورود السمع ، ونحن على استصحاب ذلك إلى أن يرد السمع .
Selain menjelaskan tentang konstruksi hirarki dasar hukum Islam yang sudah final atau tidak ada perbedaan di antara jumhur ulama, selanjutnya al-Ghazali menejelaskan dasar-dasar hukum yang masih debatable. Al-Ghazali menyebutkan empat dasar hukum yang masih diperdebatkan di kalangan ulama, yaitu pertama, syar’u man qablana. Pangkal perdebatan mengenai syar’u man qablana adalah perdebatan mengenai apakah ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah sebelum menjadi nabi berdasarkan syari’at nabi sebelumnya atau tidak. Sebagian ulama menyatakan iya dan sebagian yang lain menyatakan tidak. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa syar’u man qablana merupakan dalil hukum selama tidak dinasakh atau dihapus oleh syari’at Muhammad. Jumhur dari kalangan hanafiyah dan sebagian malikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa ia merupakn dalil hukum selama hal itu ditemukan dalam syari’at Muhammad dan tidak dinasakah. Karena ia merupakn syari’at dari Allah yang diturunkan melalui para utusan-Nya.
Ada empat macam syar’u man qablana, yaitu: hukum-hukum yang telah ditetapkan kepada umat terdahulu, kemudian ditetapkan juga kepada umat Muhammad dengan al-Quran atau hadits, seperti kewajiban berpuasa Ramadhan. Kedua, hukum-hukum yang telah ditetapkan kepada umat terdahulu dan disinggung di dalam al-Quran atau hadits namun telah dinasakh. Ketiga, syari’at atau hukum yang yang telah ditetapkan kepada umat terdahulu, namun sama sekali tidak disinggung, baik dalam al-Quran maupun hadits. Keempat, hukum-hukum yang telah ditetapkan kepada umat terdahulu dan disinggung dalam al-Quran atau hadits, namun tidak secara tegas dikuatkan atau dibatalkan.
Kedua, qaul atau madzhab al-Shahabi. Al-Ghazali tidak menganggapnya sebagai dalail hukum karena tidak ada jaminan kebenaran para sahabat, berbeda dengan nabi Muhammad yang memang ma’shum dan ucapannya beraal dari wahyu. Bagamana sebuah dalil hukum diambil dari sesuatu yang kemungkinan salah? Kalau memang mereka ma’shum atau terjaga dari kesalahan mengapa terkadang ada perbedaan di antara para sahabat? Bagaimana terjadi perebatan antara sahabat yang sama-sama ma’shum? untuk itu al-Ghazali menolak hukum yang berdasarkan qaul al-Shahbi.
Namun demikian ada yang menerima qaul shahabi sebagai dalil hukum dengan syarat memang sesuai dengan perkataan Nabi dan dapat dibenarkan dengan akal seperti perkataan Aisyah bahwa orang yang mengandung tidak lebih lama dari dua tahun. Ini dapat diterima karena memang sumbernya dari Rasulullah. Bahkan Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa Qaul Shahabi yang jelas-jelas tidak ada sahabat lain yang mempertentangknanya bisa dijadikan dalil hukum. Hanya saja ia tidak menganggapnya sebagai dalil hukum ketika qaul shahabi tersebut murni hasil ijtihad sahabat dan tidak ada kesepakatan di kalangan sahabat
Ketiga, istihsan. Istihsan adalah perpindahan ijtihad ulama dari ketentuan dalil qiyas yang jalli kearah qiyas khafi. Atau melakukan ijtihad baru dengan tanpa melihat dasar dri nash karena pertimbangan untuk mewujudkan kemashlahatn yang lebih konkret. Al-Ghazali berpendapat bahwa ketika seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan istihsan atau pertimbangan akalnya dan sesuai dengan syara’ atau berdasarkan pemahaman umum obyek ijtihad ini sesuai dengan hukum Allah baik melalui riwayat mutawatir ataupun ahad, maka ini bisa diterima. Al-Ghazali menjelaskan:
ما يستحسنه المجتهد بعقله ، ولا شك في أنا نجوز ورود التعبد باتباعه عقلا بل لورود الشرع بأن ما سبق أوهامكم واستحسنتموه بعقولكم أو سبق إلى أوهام العوام مثلا فهو حكم الله عليكم لجوزناه ، ولكن وقوع التعبد لا يعرف من ضرورة العقل ونظره بل من السمع ولم يرد فيه سمع متواتر ولا نقل آحاد ، ولو ورد لكان لا يثبت بخبر الواحد ، فإن جعل الاستحسان مدركا من مدارك أحكام الله تعالى ينزل منزلة الكتاب والسنة والإجماع وأصلا من الأصول لا يثبت بخبر الواحد ، ومهما انتفى الدليل وجب النفي.
Ulama sebelumnya, seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’I dengan tegasmenolak istihsan sebagai dalil syar’i, bahka mereka pernah menyatakan bahwa barang siapa menggunakan istihsan sebagai dalil maka sebenarnya ia telah membuat syari’at. Syafi’i menyatakan bahwa menetapkan hukum dengan akalnya dan tidak berpegang pada al-Quran dan hdits, pada dasarnya ia telah menuruti hawa nafsunya dan ia menetapkannya berdasarkan prasangka.
Keempat, Itishlah. Al-Ghazali mendefinisikan almashlahah al-mursalah sebagai maslahat yang tidak terdapat nash khusus yang menyatakan penerimaan atau penolakan terhadapnya”. Definisi ini muncul dari pembagaian mashlahat menjadi tiga macam bagian (1) mashlahat yang diterima (mu’tabarah), (2) mashlahat yang ditolak (mulghah), (3) maslahat netral (mursalah).
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi apabila menggunakan istishlah atau al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil hukum, yaitu pertama, mashlahat harus benar-benar konkret dan tidak berdasarkan prasangka. Kedua, mashlahat harus bersifat umum atau universal dan tidak bersifat individu subyektif dan relatife atau parsial. Ketiga, mashlahat yang dimaksud tidak bertentangan dengan nash.
Menurut al-Gazali penetapan hukum berdasarkan maslahah mursalah Sama dengan menetapkan hukum dengan munasib selaras (mula‘im) yang tidak ada kesaksiannya dari dalil khusus, dan ini sama dengan istidlal mursal. Hal yang sama juga telah dinyatakan sebelumnya dalam Syifa’ al-Ghalil meskipun ia menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ia menyebutnya munasib mula’im mursal yang tidak ada kesaksiannya dari dalil khusus. Ia menyebutnya munasib mula’im yang tidak ada kesaksiannya dari dalil khusus. Ketika ia menguraikan maslahat mursalah ia menyebutnya munasib mursal dan dinyatakannya bahwa ini di kalangan ahli-ahli fiqih disebut istidlal mursal, yaitu berpegang kepada semata maslahat tanpa adanya kesaksian dalil khusus.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pandangan al-Ghazali tentang istihsan dan mashlahah al-mursalah, terkesan ambigu. Di satu sisi ia menerima istihsan dan di sisi lain meletakkannya dalam hirarki dalil hukum yang debatable. Di sini dapat ditegaskan bahwa mashlahah al-mursalah atau istishlah yang disetujui oleh al-Ghazali adalah ketika ia diterima atau bahkan didukung oleh dail hukum yang mu’tabarah atau nash.

F. Metode Penemuan Hukum Islam
Para ahli hukum menyadari bahwa teks hukum sangat terbatas, sedangkan fenomena yang harus dijawab dengan hukum semakin berkembang seiring dengan perjalanan waktu, bahkan semakin kompleks. Wajarlah muncul sebuah adagium “an-Nusshush mutanahiyah wa al-waqai’ ghairu mutanahiah”. Oleh karena itu diperlukan ijtihad untuk menemukan hukum itu dari sumber-sumbernya.
Menurut Syamsul Anwar, dalam konsepsi hukum Islam, hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan, dan para mujtahid tidak menetapkan, akan tetapi menemukan hukum. Karena dalam Islam hukum dibuat oleh Tuhan. Para ahli hukum Islam, termasuk al-Ghazali merumuskan tiga metode penemuan hukum yaitu pertama, metode penemuan hukum dengan interpretasi linguistik; kedua, metode kausasi; ketiga, metode penemuan hukum teleologis.
1. Metode Interpretasi linguistik
Ilmu hukum Islam termasuk ke dalam sistem pengetahuan bayani (lingistik) yang di dalamnya teks-teks menempati posisi penting sebagai sumber pengetahuan dan sebagai determinan pokok sistem tersebut. Ini berarti bahwa, berbeda dengan teori hukum Barat yang menggali hukum di dalam tingkah laku mayarakat, di dalam teori hukum Islam suatu penyelidikan untuk menemukan hukum juga berarti penyelidikan terhadap teks-teks yang menjadi kerangka rujukan akhir bagi seorang yuris. Jadi ilmu bahasa menjadi sangat penting dan kaidah-kaidah kebahasaan menjadi sumber materiil yang membentuk kaidah-kaidah penemuan hukum melalui interpretasi linguistik.
Penyelidikan megenai teks-teks guna menemukan hukum ini melibatkan suatu proses berlapis dalam mana teks-teks tersebut dihadapkan kepada analisis-analisis yang meliputi aspek linguistik serta kekuatan semantik dan kekuatan logisnya. Terkadang suatu hukum tidak disinggung dalam teks yang ada, karena kasusnya merupakan hal baru yang belum ada pada saat terbentuknya teks. Untuk itu penyelidikan terhadap teks, guna menemukan hukum kasus baru itu, diperluas mencakup kekuatan logis dari teks dengan menggunakan metode kausasi dan interpretasi teleologis.
Secara umum kajian para teoritisi hukum Islam menyangkut metode ini meliputi dua aspek, yaitu aspek teoritis dan aspek terapan. Pada aspek teoritis membahas tentang asal-usul bahasa, analogi bahasa dan perubahan makna kata. Dalam kajian terapan sejumlah apparatus hermeneutik diperkenalkan dan dikelompokan sesuai dengan klasifikasi lafal syari’ah ke dalam empat kajian.
Pertama, lafal dikaji dari segi jelas tidaknya. Dalam hal ini ada dua metode yang bebeda dalam mengategorikan lafal atau teks hukum, yaitu metode hanafiah dan metode mutakallimin. Menurut metode hanafiah, lafal dikategorikan menjadi delapan macam, yaitu, zhahir, nash (eksplisit), mufasar (terinci), dan muhkam (final) serta khafi (samar), musykil, (problematik), mujmal (global), dan mutasyabih (tak tedas). Empat yang pertama dinyatakan sebagai lafal yang jelas dan empat yang kedua dinyatakan sebagai lafal yang tidak jelas. Sedangkan metode mutakallimin lafal (pernyataan hukum) yang jelas dibedakan menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash; dan lafal (pernyataan hukum) yang tidak jelas meliputi satu kategori saja, yaitu mujmal atau mutasyabih.
Kedua, lafal dikaji dari segi penunjukannya terhadap makna yang dimaksudnya, yaitu hukum menjadi kandungannya. Dalam hal ini ada dua metode pengklasifikasian signifikasi dilalah (lafal) (1) metode hanafiah (fuqaha) dan metode Syafi’iyyah (mutakallimin). Menurut metode hanafiah, dilalah terdiri atas empat macam, yaitu dilalatul ‘ibarah (signifikasi tersurat), dilalah al-isyarah (signifikasi isyarat), dilala al-dalalah (signifikasi analog), dan dilalah al-iqtidha’ (signifikasi dengan sisipan. (2) Sementara metode syafi’iiyah membagi dilalah ke dalam dua bagian, yaitu mantuq (pengertian tersurat) dan mafhum (pengertian tersirat). Mantuq dibagi menjadi dua bagian yaitu mantuq syarih (pengertian tersurat yang tegas) dan mantuq ghairu syarih (pengertian tersurat tidak tegas) yang terdiri dari dilalah al-ima’, dalalh al-isyarah dan dilalah al-iqtidha’. Sedangkan mafhum dibedakan menjadi dua yaitu, mafhum al-muwafaqah (argumentum a fortiori dan mafhum al-mukhalafah (argumentum a contrario).
Ketiga, lafal dikaji dari segi luas atau sempitnya cakupan makna. Dalam hal ini ada lafal ‘am (umum), khas (lafal khusus) lafal tanpa keterangan kualifikasi (mutlaq) dan lafal dengan keterangan kualifikasi (muqayyad), lafal bermakna ganda (musytarak) dan lafal sinonim (muradif), serta lafal bermakna hakiki dan bermakna majazi. Keempat, lafal dikaji dari segi formula-formula perintah hukum (taklif) yaitu perintah (amar), larangan (nahi) dan alterasi (takhyir).
Demikian kerangka umum kajian metode penemuan hukum melalui interpretasi linguistik secara umum. Metode ini cukup representatif untuk memahami nash-nash yang terkait dengan hukum. Seorang ahli hukum Islam haruslah menguasai metode-metode istimbath hukum ini agar ijtihad yang dilakukan sesuai dengan kemauan syari’ meskipun secara zhanni.
2. Metode Kausasi
Kausasi adalah perluasan berlakunya hukum suatu kasus yang ditegaskan di dalam nash kepada kasus baru berdasarkan causa legis (illat) yang digali dari kasus nash dan kemudian diterapkan pada kasus baru tersebut. Jadi di sini terjadi perluasan berlakunya hukum dari kasus nash kepada kasus cabang (far’i) yang memiliki ilat. Praktiknya dalam ushul fikih adalah penerapan qiyas sebagai metode penemuan hukum.
Epistemologi qiyas menyangkut dua aspek, pertama, justifikasi qiyas. Dalam kitab syfa’ al-Ghalil, al-Ghazali mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
“عبارة عن إثبات الحكم الأصل في الفرع لاشتراكهما في علة الحكم.”
Mengenai yang menjadi justifikasi kebenaran penetapan hukum melalui qiyas, al-Ghazali mengmukakan beberapa hal: (1) keyakinan mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku pada kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok tersebut diberlakukan pada kasus cabang. Tentang kekuatan keyakinan zanni ini al-Ghazali mencontohkan masalah penetapan kiblat. (2) anggapan dasar bahwa setiap mujtahid adalah benar. Maksudnya mujtahid yang melakukan ijtihad pada kasus-kasus yang tidak ada nash yang tegas secara qath’I, meskipun hasil ijtihadnya berbeda dengan mujtahid yang lain dalam kasus yang sama.
Bagi al-Ghazali penggunaan pikiran dan nalar rasional (al-Ra’yu dan al-ijtihad) merupakan konsekuensi logis dari syaria’h itu sendiri karena beberapa bagian dari perintah hukum syar’i tidak mungkin dilaksanakan tanpa penggunaan ra’yu dan ijtihad. Dengan demikian, keabsahan qiyas sebagai salah satu bentuk ijtihad ra’yu tidak perlu diragukan, dan pengamalannya secara qat’i adalah sah. Kedua tingkat probabilitas tingkat pengetahuan tentang hukum syar’i yang dihasilkan melalui penggunaan qiyas atau identifikasi illat hukum. Al-Ghazali mendefinisikan Illat :
عبارة عما يتأثر المحل بوجوده، وهي في اصطلاح الفقهاء على هذا المذاق
Pada intinya ‘illat adalah Sifat yang jelas dan pasti yang mengandung alasan yang sesuai dengan penetapan hukum. Setidaknya ada tiga cara untuk mengetahui illat hukum, (1) identifikasi melalui pernyataan nash, hal ini secara eksplisit ditemukan dalam nash, atau pernyataan implisit, dan bisa juga melalui intimasi atau peringatan dalam mana penyebutan suatu perbuatan hukum diikuti dengan penyebutan sanksi hukumnya. (2) identifikasi melalui ijma’, (3) identifikasi melalui ijtihad yang terdiri atas dua hal, yaitu dengan klasifikasi dan eliminasi, yaitu pengujian terhadap illat dengan cara mengidentifikasi semua atribut yang diperkirakan mungkin menjadi ‘illat hukum, kemudian satu persatu ‘illat yang diperkirakan itu diuji untuk menemukan satu ‘illat yang paling mungkin, kemudian alternatif lainnya dieliminasi. Kedua yaitu dengan cara menguji kesesuaian atribut yang diyatakan sebagai íllat itu dengan hukum.
3. Metode penemuan hukum teleologis
Menurut Syamsul Anwar yang dimaksud metode penemuan hukum teleologis adalah suatu penafsiran terhadap undang-undang guna menetukan suatu hukum dengan mempertimbangkan tujuan dari undang-undang tersebut. Selanjutnya ia meyatakan bahwa al-Ghazali merupakan orang pertama yang menerapkan metode ini dalam teori hukum Islam.
Kemashlahatan diberlakukannya suatu hukum yang dibangun berdasarkan atribut ‘illat yang jelas efeknya terhadap species hukum, dan tentunya ada nash pada ashl nya. Hal ini berbeda dengan almashlahah al-mursalah dengan istidlal mursal yang tidak didukung dengan adanya nash tertentu. Al-Ghazali mendeskripsikan mahlahat sebagai berikut:
“نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة : وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم ، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة ، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلح ”
Tegaknya mashlahat merupakan tujuan pokok hukum Islam. Perwujudan maslahat yang disebut juga dengan maqashid al-syari’ah ini dengan menciptakan manfaat dan menghindari yang merusak. Mengenai bagaimana mengetahui mashlahat, al-Ghazali secara eksplisit mengatakan “Maqashid al-Syari’ah hanya dapat disingkap melalui pemahaman dari al-kitab al-hadits dan konsesnsus ulama. Ia mengatakan bahwa mashlahat tidak dapat diketahui kecuali dengan syara’. Apabila mashlahat tidak jelas maka harus dicari melalui Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ Qiyas. Memang ada ulama yang menetapkan setiap mashlahat yang masuk ke dalam jenis maslahat yang ditetapkan oleh syara'. Maka, walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan mashlahah mursalah. Abu Zahrah mengatakan bahwa maslahat seringkali tidak tampak, dan ketidaktampakan maslahat tidak akan mungkin terjadi kecuali jika makna maslahat telah tercampur dengan hawa nafsu dan syahwat, atau kegelapan telah menutupi akal kita sehingga sesuatu yang sebenarnya mengandung madlarat dikira sebagai kemaslahatan.
Setidaknya ada dua hal yang perlu dicatat mengenai teori tujan hukum al-Ghazali. Pertama, bahwa logika yang meladasi penemuan hukum teleologis yang bertitik tolak pada maslahat mursalah adalah koroborasi induktif. Maslahat mursalah yang sah harus dengan semangat umum syara’ yang disimpulkan dari sumber-sumber material syariah yang terserak dan dari petunjuk-petunjuk kontekstualnya. Sejauh mana kekuatan dan nilai otoritatif maslahat tersebut ditentukan oleh sejauh mana ia mendapat koroborasi dari berbagai sumber tersebut.
Kedua, perdebatan mengenai metode penemuan hukum teleologis yang bertitik tolak pada konsep mashlahat mursalah pada hakikatnya adalah perdebatan mengenai penentuan batas kewenangan akal dalam kaitannya dengan wahyu. Akar persoalannya terletak pada masalah kausasi hukum syar’i berdasarkan maslahat. Dengan demikian tidak hanya terbatas pada masalah-masalah hukum ansich yang dilibatkan, tetapi juga masalah-masalah teologis.
Metode-metode penemuan hukum di atas, kalau dimplementasikan dalam setiap aktifitas ijtihad, niscaya akan mendapat hasil yang maksimal, meskipun itu zhanni. Kalau ahli hukum dapat menguasai metode-metode di atas, maka kesan regiditas hukum islam setidaknya dapat ditepis. Karena metode-metode tersebut memberi porsi yang cukup terhadap akal manusia dalam memahami nash. Selain itu, metode ini sudah cukup representatif untuk membumikan teks-teks agama demi kemaslahatan manusia.

G. Penutup
Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Ghazali telah berusaha membuat suatu kerangka pemaduan antara ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih serta integrasi wahyu dan akal dalam teori hukum Islam, meskipun dia bukan yang pertama. Karen, pada dasarnya al-Ghazali meneruskan yang telah dirintis oleh Imam Syafi’i. Pada periode sebelumnya terjadi perdebatan yang seru antara para ulama, khususnya antara kubu Iraq yang sering disebut ahl al-ra’yi dan kelompok hijaz yang sering disebut ahl al-hadits. Al-Syafi’I yang pernah mengenyam pendidikan di kedua sekolah pemikiran ini berusha mendamaikan dan mensintesiskan keduanya. Di sinilah ia ingin membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal. Ternyata Syafi’i berhasil melakukannya. Dalam kitab Manaqib al-Imam al-Syafi’I, al-Razi mengatakan bahwa sebelum Syafi’I biasanya orang dikelompokkan kepada ahli hadits dan ahli al-ra’yi. Yang pertama ahli dalam bidang hadits tetapi lemah dalam bernalar dan berargumen. Sedang yang kedua berkompeten dalam berdebat (mujadalah) tapi lemah dalam hadits. Tapi syafi’I memiliki kedua kemampuan itu.
Meskipun sudah ada usaha untuk memadukan atara naql dan akal atau wahyu dan ra’yu problem yang muncul –dan ini menjadiproblem seluruh metodologi hukum Islam klasik – adalah kurangnya pengembangan analisis empiris sebagai perwujudan dari didudukkannya akal berdampingan dengan wahyu. Dengan kata lain, meskipun al-Ghazali telah memperlebar jalan untuk pengembangan analisis empiris melalui introduksi teori tujuan hukum yang berlandaskan doktrin induktif dan asumsi rasionalitas hukum, namun secara faktual dalam praktiknya metodologi hukum Islam, termasuk dalam tulisan-tulisan al-Ghazali, banyak terpusat pada analisis normatif tekstual.



















R E F E R E N S I


Abdu al-Karim Ustman, Sirat al-Ghazali,(Damaskus: Dar al-Fikr, tth).

Abdul Karim Zidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Amman: Muassasah al-Risalah, 1990).

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007).

Al-amidi, al-Ahkam li al-Amidi (Digital Library, al-Maktabah al-syamilah, al-Ishdar al-tsani: 2005).

Al-amidi, Muntaha al-Su’al fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003).

Al-Baqillani, al-Thariq wa al-Irsyad, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).

Al-Ghazali, Syifa’ al-Galil, (Baghdad: al-Irsyad, 1971).

_______, al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah: 2005).

Al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003).

Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003).

Al-Syahru al-Syatani, Al-Milal wa al-Nihal , (Beirut Dar al-Fikr, 1967).

Al-Syarif al-Jurjani, al-Mukhtashar fi Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003).

Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).

_______, al-I'tisham (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Tt).

As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah, (Beirut: Dar al-Fikr, Tt).

Bahr al-Muhith, (Digital Library, al-Maktabah al-syamilah, al-Ishdar al-tsani: 2005).

Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul fi ‘Ilmi al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999).

_______, Manaqib al-Imam al-Syafi’I,(Beirut: Dar al-Jail, 1993).

Hasan Al-Halabi, “Muslim Rasionalis”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995).

Ibnu Khaldun, “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).

Idris Hamadi, al-Khithab al-Syar’I wa Thuruq Istitsmarihi, (Beirut: al-Markaz al-Tsiqafi al-‘Arabi, 1994).

Imam al-Syafi’i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003).

Ishaq bin Ibrahim, ‘Ali bin Yusuf al-Syairazi, al-Tabshirah fi ushul al-Fiqh,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003).

Izzuddin Abdussalam,”Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1999).

Jurnal ISLAMIA Tahun II No. 5/ April-Juni 2005. (Jakarta: Institut for the Study Islamic Thought and Civilization (INSIST) dan Penerbit Khairul Bayan, 2005)

Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadits, [Beirut: Dar al-Fikr, tt).

Mongtemoory Watt, Muslim Intelectual. Study of al-Ghazali, (Edinberg: Universiity of Edinburg, 1963).

Mourice Bouyges, Essai de Chronoloogie des Ouvres de al-Ghazali, ed. & revisi oleh M. Allard, (Beirut: Imprimarie Catholique, 1959).

Muhammad ‘Imarah, “Hawla Tanaqudl al-Naql—Al-Qur’an—ma’a al-‘Aql, dalam Al-Majlis al-‘A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah, Haqa’iq al-Islam fi Muwajahat Syubhat al-Musyakkikin” (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah).

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke-9 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005).

Muhammad ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994).

Muhammad Baltaji, Manahij al-Tasyri’ al-Islami, (Iskandariyah: Darussalam, 2004).

Muhammad bin Idriss al-Syafi’I, Kitab Ikhtilaf al-Syafi’I wa al-Maliki dalam al-Umm,(Beirut: Dar al-Ma’rifah).

Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih bahasa: Noorhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996).

Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004).

Munirul Abidin, Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, (Yogyakarta: Pustaka Zamzami, tt).

N.J.Coulsen, a History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964).

Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash; Dirasah fi ‘Ulum al-Quran, atau Dawair al-Khawf; Qiraah fî Khithab al-Mar’ah, (Beirut: al-Dar al-Baidha’, 2000).

Saiful Anwar (Makalah), “Islam Liberal” disampaikan dalam seminar HP. CIPS.

Simuh, “Pokok-pokok Pemikiran al-Ghazali dalam Tasawuf” dalam Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995).

Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi Nadzr al-Ghazali, cet. Ketiga, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971).

Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min al-Ushul Karya al-Ghazali, Desertasi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: 2000)

_______, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002).

Syarh al-Kabir, (Digital Library, al-Maktabah al-syamilah, al-Ishdar al-tsani: 2005).

‘Umar Sulaiman al-Asyraq, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Kuwait: Maktbah al-Falah, 1982).

Usbu’ al-Fiqhi al-Islamy, 12-16 Syawal 1380 H., Damascus: Al-Majlis al-A’la li Ri’ayat al-Syu’un wa al-Adab wa al-‘Ulum al-Ijtima’iyyah, 1380 H.

Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar