Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Mei 2009

METODE DAN KARAKTERISTIK IJTIHAD JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)

A. Pendahuluan
Islam liberal merupakan suatu bentuk penafsiran secara bebas atas Islam yang salah satu landasannya adalah membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).



METODE DAN KARAKTERISTIK IJTIHAD JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
OLEH: IMAM MUSTOFA
A. Pendahuluan
Islam liberal merupakan suatu bentuk penafsiran secara bebas atas Islam yang salah satu landasannya adalah membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
Banyak pemikir Muslim memandang metodologi ijtihad klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari “pabrik” intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.
Seharusnya metodologi ijtihad klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Pertama,Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. Kedua,Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf). Ketiga, Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.
JIL bermaksud mereformasi metodologi ijtihad klasik yang menurut mereka problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Reformasi ini dilakukan dengan merekonstruksi kaidah-kaidahh ushuliyah. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi pabila kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia
Kalangan Islam liberal bermaksud membuat sebuah metode ijtihad baru yang dapat mencipatakan kemashalahatan bagi seluruh umat manusia. Konsep mashlahat yang mereka kembangkan diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan dan menjamin hak-hak semua kelompok dengan melintasi agama, budaya suku dan Negara.
Ijtihad yang mereka tekankan tidak lain dan tidak bukan merupakan upaya untuk memperbarui fiqih yang akhir-akhir ini sering mendapatkan sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan, termasuk JIL. Oleh karena itu tidaklah mengherankan ketika kalangan Islam liberal membuat buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama.
Fiqih yang selama ini dipakai oleh umat Islam dianggap sebagai faktpr kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Salah satu kritik yang kerap dilontarkan adalah fiqih bersikap diskriminatif terhadap non-muslim. “banyak konsep fiqih yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah daripada umat Islam, sehingga berinplikasi meng-exclude atau mendiskriditkan mereka. Selain itu fiqih Islam selalu memposisikan wanita sebagai subordinate terhadap laki-laki. Oleh sebab karekternya ini maka fiqih Islam mendesak untuk direformasi atau rekonstruksi. Untuk merekonstruksi fiqih Islam ini harus dimulai dari kerangka metodologi yang digunakan untuk menghasilkan fiqih ini, yaitu ushul fiqih. Kalangan Islam liberal, khusunya JIL berusaha untuk menghasilkan fiqih baru, dan untuk mengghasilkan fiqih baru mereka menggunakan metode ijtihad hasil kreasi mereka.
JIL bukanlah kelompok pertama yang menghendaki pembaruan fikih. Jauh sebelum kelahiran JIL banyak tokoh-tokoh yang mengendaki pembaruan ushul fiqih antara lain Hasan Turabi. Turabi menilai bahwa ushul fiqih tidak lagi relevan untuk sekarang ini. Ia hanya sesuai untuk masa tersebut. Tokoh lain adalah Abu Hamid Abu Sulayman yang menilai ushul fiqih textual dan Linguistic oriented sehingga cenderung melupakanunsur historisitas teks. Langkah Abu Sulayman ini diikuti oleh Muhammad Syahrur , Arkoun dan Fazlur Rahman. Arkoun mengkritik Syafi’I yang telah membakukan sumber hukum Islam dan Sunnah sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang unthinkable. Dalam penilaian Arkoun konstruksi ushul fiqih klasik sangat kental dipengaruhi ideologi dominan ketika itu. Sedangkan Fazlur Rahman mendesak agar metode penafsiran Al-Quran yang dibakukan melalui Ushul fiqih segera dirombak. Menurutnya Al-Quran harus dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia diturunkan. Karena mengabaikan relitas sosial hanya akan berujung pada penegasian tujuan dan obyektifmoral-sosial Al-Quran.
Dari uraian latar belakang dan batasan-batasan di atas maka penulis bermaksud mengeksplorasikan pemikiran tentang metode dan karakteristik Ijtihad JIL. Hal ini penting untuk menjelaskan kepada masyarakat bagaimana sebenarnya metode ijtihad yang dikembangkan oleh JIL. Selanjutnya masyarakat dapat mengambil sikap terhadap metode dan ijtihad JIL.

B. Sumber Hukum dan Metode Ijtihad
Charles Kurzman memperkenalkan tiga model pembacaan liberal terhadap Islam (syari’ah). Pertama, liberal syari’ah, Kedua, silent syari’ah, dan Ketiga, interpretd syariah, . Penulis memahami JIL sebagai liberal interpreted syariah. JIL berasumsi bahwa Islam membuka kemungkinan liberal pada masalah-masalah yang dimungkinkan munculnya penafsiran (interpretable). JIL masih menggunakan teks-teks agama sebagai dalil, namun mengedepankan suatu epistimologi yang menekankan perlunya keragaman di dalam menafsirkan teks-teks dan menuntut adanya kontekstualisasi. Kondisi sosio-kultural dan historis yang ada dalam suatu masyarakat harus menjadi pertimbangan pokok dalam memahami teks. Umat Islam harus berani mencari formula baru dalam memahami teks dan terus mengembangkannya sesuai dengan perkembangan masyarakat seiring dengan perkembangan zaman. Pada dasarnya Sebuah teks pasti akan ada korelasi dan hubungan yang sangat erat dengan adanya asbab al-Nuzul dan juga asbab al-Wurud hadis. Dengan tidak menghancurkan kebudayaan agama yang telah ada maka bentuk kebudayaan baru yang datang harus disofistikasikan berdasarkan nilai-nilai luhur agama. Hal ini karena proses penerimaan wahyu dari Nabi Muhammad dan penyebarannya terhadap para sahabat serta generasi-generasi setelahnya berjalan secara dinamis, dan bukan proses yang statis.
1. sumber hukum yang digunakan JIL
Ulil Abshar Abdalla selaku koordinator JIL mengembangkan ide hirarki sumber hukum dalam Islam dalam tatapan yang baru. Ulil cenderung mendudukkan akal dalam posisi pertama, disusul dengan Al-Quran, Sunnah, kemudian Ijma’.
a) Akal
Akal berada pada urutan pertama karena akal manusia merupakan perangkat pokok dalam era pascakewahyuan. Akal mempunyai “keterarahan kepada kebenaran-kebenaran” dan di dalam kategori-kategori moral yang membantu manusia untuk membangun sistem kehidupan yang rasional, plausible dan seterusnya. Ulil “menyandarkan” pandangannya ini kepada pendapat kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa kategori dan keburukan dapat diketahui secara otonom oleh akal. Ia memahami akal semata-mata secara Kantian, yaitu akal yang berada di liar sejarah yang tertutup dalam dirinya sendiri. Ulil memahami akal dalam dua perspektif yaitu akal yang historis-kontekstual dan akal relasional. Dalam pengertuan seperti ini akal tidak bersifat seragam, akal sangat terkait dengan konteks sosial tertentu.
b) Al-Quran
Al-Quran adalah sumber kedua yang kedudukannya terletak setelah akal. Al-Quran hanya mengarfimasi kategori-kategori moral dan potensi-potensi kebaikan yang ada dalam akal menusia. Al-Quran adalah wahyu verbal yang kedudukannya adakag skunder terhadap akal non-verbal. Ulil meletakkan wahyu verbal pada posisi skunder dengan dua alasan: pertama, Al-Quran sendiri tidak bisa tidak terperangkap dalam “jeratan linguistis” masyarakat Arab saat itu, sehingga dengan demikian ide-ide moral Al-Quran juga harus mengalami kompromi dengan konteks linguistis tersebut. Al-Quran sebagai wahyu verbal jelas dibatasi oleh dua konteks; konteks sosial dan konteks linguistis. Kedua, sebagai teks, Al-Quran sebenarnya adalah teks yang mati tanpa ada perantara hermeneutis yang dapat “membunyikannya”.
c) Sunnah
Sebagaimana Fazlur Rahman, Ulil memanadang Sunnah sebagai “tradisi yang hidup”. Sunnah sebagai sumber hukum dalam pengertian yang jauh lebih luas dari sekedar hadis, yaitu seluruh konteks sosial budaya yang melatari karir kerasulan Nabi, baik di Makkah maupun di Madinah. Menurut Ulil seluruh ucapan dan tindakan Nabi pada zamannya adalah suatu cara yang dilakukan Nabi untuk menrjemahkan ide-ide moral, baik yang terkandung dalam Al-Quran maupun dalam akalnya sendiri.
d) Ijma’
Ijama’ dalam pengertian ulama klasik adalah suatu kesepakatan seluruh manusia pada sustu masa tertentu mengenai suatu ketentuan hukum tertentu dalam satu cara yang sedemikian rupa sehingga tidak mungkin terjadinya persengkongkolan untuk menyepakati kebohongan. Meskipun Ulil tidak sepakat dengan definisi di atas, namun dia masih menganggap bahwa ijam’ masih relevan dijadikan sumber hukum. Berbeda dengan jumhur ulama yang bisa dikategorikan ijma’ hanyalah kesepakatan dari kaum muslimin, Ulil berpandangan bahwa ijma; bukan hanya milik umat Islam, seluruh umat manusia berhak ikut serta dalam membuat Ijma’ atau kesepakatan publik ini.
Ringkasan dari hirarki sumber hukum di atas bisa digambarkan sebagai segi tiga yang saling sambung menyambung:

Akal/Al-Quran





Sunnah/Konteks Ijma’/Diskursus Publik
Keterangan:
 Akal dan Al-Quran sebagai sumber moral yang Saling berdialektik (wahyu verbal dan non-verbal);
 Sunnah adalah pengejawantahan ide-ide moral itu kedalam konteks yang terus berubah. “Sunnah” adalah konteks atau bejana sosial tempat nilai-nilai fundamental mendapatkan “wadahnya”;
 Ijam’ adalah proses sosial bagaimana suatau penerjemahan nilai-nilai itu dilaksanakan, yaitu diskursus publik yang bermuara pada terbentuknya konsesnsus publik.
Dengan hirarki semacam ini, maka menurut Ulil ketika terjadi ketegangan dan pertentangan antara akal dan nash, maka yang harus dimenagkan adalah akal. Kedudukan Al-Qur’an dan Sunnah adalah dibawah akal manusia. Pandangan ini jelas menunjukkan kultus yang berlebihan terhadap akal, yang tidak lain adalah kebangkitan kembali teologi Mu’tazilah.
Memang, dalam perspektif kalangan Islam liberal, yang menjadi pijakan utama ijtihad adalah mashlahat kemanusiaan dengan menggunakan pertimbangan akal. Menurut mereka mashlahat merupakan sumber hukum yang independent (al-mashdar al-mustaqil).
Beberapa ratus tahun yang lalu, Al-Imam Al-Syâfi'iy dalam Al-Risalah mengatakan: “tidak boleh bagi seseorang, selamanya, untuk mengatakan halal atau haram, kecuali berdasarkan ilmu, dan dasar ilmu adalah khabar dalam kitab Allah, sunnah nabi, ijma’, atau qiyas”. Dengan pemikiran Ulil di atas, maka perkataan Al-Syâfi'iy ini menjadi tidak ada artinya sama sekali. Jangankan Al-Syâfi'iy, Rasulullah Muhammad SAW pun sudah direduksi sedemikian jauh perannya. Bagi mereka, Sunnah nabi adalah salah satu model penerapan Islam saja, yang kemudian dijadikan pertimbangan untuk melihat bagaimana praktek penerapan ide-ide al-Qur’an dalam lingkungan Arab kuno pada saat beliau hidup. Sedangkan kita yang hidup di era abad 21 ini ditantang untuk “Sunnah” baru sesuai konteks kita. Jadi, kalau mau dikatakan lebih tegas, kita tidak mesti mengikuti apa kata Rasul, sebab apa yang dikatakannya itu hanya untuk konteks Arab saat itu.
Namun demikian, alangkah baiknya kita menilik beberapa pendapat ulama tentang posisi dan peran akal. Hal ini setidaknya bisa menjadi pembanding atas pandangan kalangan liberal di atas. Mengenai hal ini, Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Munirul Abidin mengatakan:
“Akal bukan dasar (pokok) untuk menetapkan syariat, walaupun ia merupakan jalan mendapatkan pengetahuan, karena suatu yang ada akan tetap pada keadaannya, baik kita ketahuai ataupun tidak. Maka dari itu, syariat akan tetap ada baik kita mengetahuinya dengan akal maupun tidak. Itulah kaidah agung, yaitu bahwa sesuatu yang ada akan tetap adanya, baik diketahui oleh seseorang maupun tidak. Inilah perbandingan antara akal dan syariat”

Filosuf terkemuka, Plato berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Saiful Anwar bahwa “Jika indra kita bisa tertipu oleh kesimpulan akal yang keliru, semisal pohon yang tegak lurus nampak bengkok di dalam air, apa yang kita sangka air ternyata hanya sebuag fatamorgana, lalu bagaimana akal bisa diandalkan hingga kita tahu bahwa kita tidak tertipu. Maka jelaslah bahwa kebenaran harus datang dari tempat lain dan akal membutuhkan pertolongan. Ibnu Khladun juga berpendapat bahwa “Akal mempunyai garis-garis yang tegas membatasi kemampuannya. Otak hanya satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah swt. Berdasarkan hal ini, dapatlah anda mengerti akan kekeliruan seseorang yang mendahulukan akal, serta betapa keterbatasan pemahaman dan keredupan pendapatnya.
Hasan al-Halabi mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan ”akar kesesatan orang yang sesat adalah mendahulukan logikanya di atas nash yang diturunkan dari sisi Allah swt. Dan kecenderungannya pada keinginan nafsu di atas prinsip mengikuti perintah Allah swt. “Barang siapa keluar dari norma-norma syar’i (qanun nabawi yang telah ditunjuk oleh Al-Quran dan Sunnah), pasti ia perlu membuat qanun lain yang berseberangan, yang ditolak oleh akal dan agama. Ia tidak mau bersandar pada Al-Quran, al-Sunnah dan atsar para sahabat dan tabi’in, melainkan mengandalkan akalnya dan permainan bahasa.
Menurut hemat penulis sehebat apapun akal, tetap saja merupakan salah satu komponen dalam diri manusia, sehingga ia tidak bisa dilepaskan dari konsep keterbatasan dan relatifitas manusia itu sendiri. Pengalaman sejarah—baik dulu maupun sekarang—selalu membuktikan betapa terbatasnya akal manusia. Meminjam ungkapan Muhammad ‘Imarah, seringkali terbukti bahwa adakalanya di saat sekarang, akal tidak mengetahui suatu hal, yang ternyata diketahuinya di waktu yang akan datang (tajhal al-yawm mâ ta’lamuhu ghadan). Selain itu, apa yang diketahui oleh akal orang yang satu, juga belum tentu diketahui oleh orang lain (mâ yaqshur ‘anhu ‘aql al-wâhid yablughuhu ‘aql al-ghayr). Dengan demikian, maka akal itu jelas bersifat terbatas dan relatif.
Memposisikan akal diatas segala-galanya (termasuk al-Qur’an dan Sunnah) adalah tindakan yang sangat berbahaya. Akan terjadi kekacauan yang luar biasa jika akal sampai dibiarkan menentukan segala hal dalam Islam. Mungkin saja Ulil itu lupa bahwa dalam diri manusia terdapat hawa nafsu juga, yang sedikit ataupun banyak, pasti akan mempengaruhi juga pada gerak akal. Karena itu, al-Qur’an Allah juga telah mengingatkan: “andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”.

2. Metode ijtihad
Ijtihad yang dikembangkan oleh JIL tidak berpijak pada nahs, akan tetapi berangkat dari akal. Nash hanya sebagai penguat terhadap apa yang ditemukan oleh akal. Hal ini bisa dilihat dari hiraki sumber hukum yang mereka kembangkan di atas.
Dalam perspektif JIL ijtihad adalah cara untuk mengembangkan rasionalisme. Berbeda dengan sikap agamawan konservatif yang meletakkan rasionalisme justru untuk membentengi dogma, maka dalam paradigma Islam liberal, rasionalisme digunakan untuk reinterpretasi dan mengapkir tafsir keagamaan yang tidak relevan dengan semangat zaman. Jika dalam skripturalisme, akal ditaklukkan dalam kehendak-kehendak harfiah teks agama, maka dalam paradigma progresivisme akal bisa berstatus sebagai nasikh atas hukum-hukum atau fikih Al-Quran yang tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Inilah yang saya maksud misalnya dengan kaidah jawâzu naskhi al-nushûsh al-juz’iyyah bi al-mashlahat (bolehnya mengamandemen teks-teks partikular dengan maslahat).
Moqsith Ghazali mengutip Ibnu Rusyd dalam buku Fashlu al-Maqâl fî Mâ Baynal Hikmah wa al-Syarî`ah min al-Ittishâl, yang mengatakan, “Sekiranya suatu ajaran nyata-nyata bertentangan dengan rasio atau akal budi (al-burhan), maka ia tidak bisa lain kecuali mesti direformasi melalui medium takwil. Ia memberikan jalan, wa in kânat al-syarî`ah nathaqat bihi, fala yakhlû dhâhir al-nuthq an yakûna muwâfiqan limâ addâ ilaihi al-burhân fîh aw mukhâlifan. Fa’in kâna muwâfiqan falâ qawla hunâlik. Wa’in kâna mukhâlifan, thuliba hunâlika ta`wîluhu. Ibnu Rusyd juga berkeyakinan bahwa “wa nahnu naqtha`u qath`an anna kulla mâ adda ilaihi al-burhân wa khâlafahu dhâhir al-syar`iy, anna dzâlika al-dhâhir yaqbalu al-ta’wîl.
Terinspirasi oleh pernyataan Ibnu Rusyd ini, Moqsith berani merumuskan beberapa kaidahsebagai berikut:
a) “in khâlafa al-`aql wa al-naql, quddima al-`aqlu bitharîqi al-takhshîsh wa al-bayân”. Artinya, ketika terjadi pertentangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang dimenangkan adalah pertimbangan akal dengan jalan takhshîsh (spesifikasi ajaran) dan bayân (penjelasan rasional).
Dari kaidah ini bisa dipahami kalau JIL berpandangan bahwa kesempurnaan syariat tidak terletak dalam tubuhnya sendiri, tapi mesti disangga oleh manusia sebagai subyek sekaligus obyek dari syariat. Sebagai makhluk yang berakal, posisi manusia dalam proses pemaknaan ajaran sangatlah penting. Al-nâs `âqil wa al-nashsh ghairu al-`âqil (manusia adalah yang berakal, sementara teks itu sendiri tidak mempunya akal). Manusia memiliki kewenangan untuk menyortir partikular-partikular ajaran di dalam Islam (tanqîhu al-nushûshi al-juz’iyyah). Hanya di tangan manusia yang mampu mengoptimalkan akal budinya saja syariat atau ajaran agama akan mengalami penyempurnaan demi penyempurnaan.
Moqsith mengungkapkan pendapat Umar Farrukh yang menyatakan pandangan kelompok Ikhwanus Shafa tentang syariat. Bagi Ikhwanus Shafa, syariat Kanjeng Nabi Muhammad itu nâqish. Anna al-syarâ`ah al-muhammadiyah nâqishatun. Dengan itu, Ikhwanus Shafa hendak mengatakan bahwa kesempurnaan syariat selalu berada dalam proses menjadi yang terus menerus (on-going process), dan tidak berhenti pada satu titik yang beku. Dari sini JIL meresepsi pendapat jumhur yang membolehkan abrogasi (naskh) beberapa ajaran di dalam Islam.
Di sini perlu ditegaskan kembali sikap Al-Syatibiy mengenai kedudukan akal dan teks, termasuk ketika keduanya bertabrakan. Al-Syatibiy memang sering disebut-sebut sebagai “Bapak Mashlahat”, tapi sikap beliau—dan juga ulama Malikiyyah yang lain—dalam memandang kedudukan akal dan teks tetaplah jelas dan tegas, sehingga tidak keluar dari konsensus ulama. Beliau mengatakan: “Bila akal bertentangan dengan teks maka, sesuai syarat didahulukannya teks sehingga akal menjadi mathbû’, dan diakhirkannya akal sehingga akal menjadi tâbi’, akal tidak boleh menggembala dalam lapangan pendapat kecuali sebatas penggembalaan teks (la yasrah al-‘aql fi majâl al-nadzr illâ bi qadri mâ yusarrihuhu al-naql)”. Dengan kata lain, jika ada benturan antar akal dan teks, maka akal harus tunduk pada teks.
Mengenai alasan mengapa akal tidak boleh melampaui pagar yang ditetapkan teks (al-naql), beliau memberikan beberapa argumen, diantaranya: (a) apabila akal boleh menyalahkan batasan yang tertera dalam naql, lalu apa gunanya naql memberikan batasan/aturan? (b) kalau boleh demikian, maka nanti pasti akan diperbolehkan untuk membatalkan syari’at dengan akal, dan ini jelas batil. Kandungan syari’at secara global adalah batasan-batasan untuk perbuatan, perkataan, dan i’tikad mukalllaf. Jika ada satu saja batasan tersebut boleh dibatalkan dengan akal, maka berarti semua batasan juga boleh, sebab mâ tsabata li al-syay’ tsabata li ghayrih, dan terhadap yang demikian ini tidak

b) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy (partikular) melainkan juga konteks impersonal yang kulli (universal). Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah.
Kaidah di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi “al-‘ibrah bi ‘umumi al-lafzhi la bi khusus al-sabab” yang artinya bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespon suatu peristiwa yang khusus. Pasrah kepada keumuman lafazh (al-taslim bi ‘umum al-lafzhi) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna lingustik (fi al-ithar al-dalalah al-lughawiyah).
Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa.
Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu.
Analisis terhadap sebuah hukum tidak cukup berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif.
Dalam memahami teks-teks tertentu kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, kaidah yang dianggap benar sebagai instrument penggalian hukum adalah universalitas teks, bukan partikularitas konteks historis yang melatari munculnya teks (al-ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khusus al-sabab). Konteks historis yang menjadi kronologi datangnya teks, baik berupa pertanyaan maupun respon terhadap realitas, tidak bisa dijadikan standar untuk membatasi (takhshish) terhadap universalitas teks. Sehingga, ketika terdapat teks dengan bentuk kalimat yang umum (universal), maka sisi universaliatsnya harus dijadikan titik pijak.
Menurut Taqiyyuddin, kaidah al-ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khusus al-sabab adalah akaidah yang dianut oleh Imam Malik dan mayoritas pengikutnya, Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya, mayoritas Hanafiyah dan mayoritas As’ariyah.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa dalam berijtihad JIL tidak berpijak pada teks, akan tetapi pada mashalahat, meskipun harus berpaling dari teks. Jadi wajar apabila mereka mencetuskan kaidah di atas. Yusuf Qardhawi menamakan kelompok liberal sebagai neo-Mu’tazilah (orang yang mengabaikan nash Al-Quran dan Hadis). Menurutnya, kelompok ini telah menyalahgunakan maqashid al-Syari’ah dengan menjadikannya sebagai dalih (petensi) untuk lepas landas dari ikatan nash Al-Quran yang oleh paran ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (Qoth’iyyul wurud), dan juga valid maknanya (Qath’iyyu al-dilalah). Lebih lanjut Qardawi menyatakan bahwa orang yang berijtihad dengan meninggalkan nash biasanya disebabkan karena, pemahaman yang salah, dikuasai oleh hawa nafsu, dipengaruhi fanatisme golongan, mengklaim adanya mashlahat dan lain-lain sebab yang sering kita saksikan dalam berijtihad yang dilakukan pada zaman modern ini.
Dalam khazanah Islam, maqashid al-syari’ah atau yang biasa disebut oleh kalangan Islam liberal dengan ‘nilai-nilai universal’, merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai tujuan utama. Adapun tujuan utama syariat adalah untuk memanifestasikan kemashlahatan atau kebaikan bagi setiap umat manusia. Konsep mashlahat oleh kalangan ushuliyyun dirumuskan menjadi tiga tingkatan, yakni dharuriyyat (elementer), hajiyyat (Komplementer) dan tahsiniyyat (suplementer).
Memang ada beberapa golongan yang berbeda pendapat tentang penetapan maqashid al-syari'ah khususnya yang berhubungan dengan mashlahat duniawiyah yang berkaitan dengan nash-nash:
Pertama, golongan yang hanya berpegang pada nash saja dan mengambil dzahiriyah dan tidak melihat kepada suatau kemaslahatan yang tersirat dalam nash itu. Demikianlah kehadiran olongan dzahiriyah, golongan yang menolak qiyas. Mereka mengatakan "Tak ada kemaslahatan melainkan yang didatangkan syara'."
Kedua, golongan yang berusaha mencari maslahat dari nash untuk mengetahui illat-illat nash, maksud dan tujuan-tujuannya. Golongan ini mengqiyaskan segala yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang mengandung maslahat itu. Hanya saja mereka tidak menghargai mashlahat terkecuali ada syahid (persaksian). Jadi maslahat yang mereka i'tibarkan hanyalah maslahat yang disaksikan oleh suatu nash atau dalil. Dan inilah yang mereka jadikan illat qiyas.
Ketiga, golongan yang menetapkan setiap mashlahat yang masuk ke dalam jenis maslahat yang ditetapkan oleh syara'. Maka walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan mashlahah mursalah.
Dalam hal penentuan mashlahat, kalangan ushuliyyun sepakat untuk merujuk pada Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan qiyas. Diantara ulama yang berpandangan demikian antara lain Izzuddin Abdussalam mengatakan bahwa mashlahat tidak dapat diketahui kecuali dengan syara’. Apabila mashlahat tidak jelas maka harus dicari melalui Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ Qiyas. Al-Ghazali secara eksplisit mengatakan “Maqashid al-Syari’ah hanya dapat disingkap melalui pemahaman dari al-kitab al-hadis dan konsesnsus ulama.
Secara lebih rinci Ramadhan al-Buthiy menjelaskan beberapa kriteria mashlahat dalam perspektif syara’, yaitu:
1. Memprioritaskan tujuan-tujuan syara'
Tujuan Syari' (Allah) menetapkan syari'ah tertuju dalam lima hal, yaitu agama, jiwa akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang menjamin terpeliharanya lima hal ini adalah maslahat yang penting. Dan sebaliknya segala sesuatu yang tidak peduli pada lima hal ini, sebagian atau seluruhnya, adalah kemafsadatan (kerusakan)
2. Tidak bertentangan dengan al-Quran
yang dimaksud tidak bertentangan dengan al-Quran ialah bahwa pertimbangan maslahat harus sejalan atau tidak bertentangan dengan nash-nash al-Quran yang qoth'i. Berarti berijtihad mengenai materi hukum yang sudah jelas didapati dalam al-Quran, tidak diperbolehkan. Akan tetapi ijtihad mengenai penerapan hukum diperlukan, sebab menyangkut kepentingan manusia selaku subjek yang kondisinya sangat kompleks.
3. Tidak bertentangan dengan al-Sunnah
seperti halnya dengan al-Quran, maslahat juga harus tidak bertentangan dengan al-Sunnah yang qoth'i. ijtihad dalam hal ini terhadap atau bagi materi hukumnya, sedangkan terhadap penerapan hukumnya tentu memerlukan ijtihad. Sebab kondisi subjek hukum sangat kompleks.
4. Tidak bertentangan dengan prinsip qiyas
ijtihad terhadap maslahat-maslahat baru yang secara tersurat tidak disebut di dalam nash, metode utama menurt al-Syafi'i adalah qiyas, karena inti dalam pengqiyasan adalah illat hukum, baik yang diisyaratkan oleh nash maupun tidak. Sedangkan kepentingan qiyas hanya untuk menjamin kepentingan umum, meskipun semua jaminan kepentinganumum tidak hanya oleh qiyas.
5. Memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar kadar kebaikannya.
Penerapan penerapan hukum ada kemungkinan ditemukan dua atau lebih kepentingan namun itu menunjukkan yang ada pada satu masalah. Adanya lebih dari satu kepentingan namun itu menunjukkan adanya peringkat kurang penting, dan sangat penting, (atau penting dan tidak penting) tentu saja dalam pelaksanaannya, mashlahat yang paling peting itulah yang harus didahulukan.
Abu Zahrah mengatakan bahwa maslahat seringkali tidak tampak, dan ketidaktampakan maslahat tidak akan mungkin terjadi kecuali jika makna maslahat telah tercampur dengan hawa nafsu dan syahwat, atau kegelapan telah menutupi akal kita sehingga sesuatu yang sebenarnya mengandung madlarat dikira sebagai kemaslahatan.
Maksud dari perkataan Abu Zahrah ini, kurang lebih, adalah bahwa kita tidak boleh serta merta menyalahkan nash yang tidak kita rasakan mashlahatnya. Sebab seringkali akal kita telah tertutupi oleh hawa nafsu, atau dalam konteks modern, telah tercampuri oleh doktrin-doktrin yang—disadari atau tidak—seringkali bukan datang dari Islam, sehinggga kemashlahatan versi nash dan kemashlahatan versi kita telah berbeda. Oleh karena itu, untuk menggali kemashlahatan dalam nash, dan juga dalam penerapan nash, memang dibutuhkan kecermatan tersendiri. Di sinilah sebenarnya titik terberat dari tugas seorang juris muslim, sekaligus ujian baginya. Di satu sisi, ia harus menghormati sifat formal hukum Islam, tapi di sisi lain juga dituntut untuk bisa merasionalkannya.
c) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
Kalangan Islam liberal berpandangan bahwa maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama. Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh.
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt.
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tidak berfungsi bagi manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-‘ibad” [seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia] . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban). Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini menurut Moqsith sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa di-nasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk di-nasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.
Jadi dalam pandangan JIL, ijtihad harus diarahkan untuk mencuptakan mashlahat dalam pandangan masyarakat umum, baik itu bertentangan dengan nash ataupun idak. Dalam tradisi ulama ushul fikih klasik, apabila terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat, mereka mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri.
Ketika membicarakan masalah maslahat, kaum liberal selalu merujuk pada Syatibi. Namun demikian mereka mematuhi ‘aturan main’ yang telah dirumuskannya, sehingga ijtihadnya terkesan ‘liar’ atau bahkan tanpa aturan main yang jelas. Mengapa itu bisa terjadi, hal ini disebabkan karena ada dua kemungkinan. Pertama, mereka telah gagal dalam memahami secara utuh konsep mashlahah mursalah. Kemungkinan kedua, mereka sebenarnya tahu, tapi sengaja tidak mau mematuhi aturan main yang ada. Apapun sebabnya, akibat dari dua kemungkian tersebut tetap saja sama, yaitu konsep mashlahah mursalah yang sebenarnya baik, disalahgunakan untuk memperkosa dan menganulir beberapa teks yang sifatnya qath’iy.
Contoh dari kecenderungan ‘penyalahgunaan pendapat’ konsep maslahah tersebut tampak, misalnya, ketika mereka menulis buku Fiqih Lintas Agama. Dalam buku tersebut, doktrin-doktrin dari Al-Syatibiy dijadikan sebagai basis teori. Namun, pada saat yang sama, buku tersebut ternyata banyak sekali memperkosa nash-nash qath’iy dengan merujuk pada maqashid syari’ah atau alasan kemaslahatan; sebuah hal yang tentunya dilarang dalam teori Al-Syatibiy. Contohnya, perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim diperbolehkan dengan alasan maqashid, padahal larangan muslimah kawin dengan perempuan non-Muslim sudah menjadi konsensus (ijma’) ulama berdasar Surat Al-Mumtahanah: 10, dan kemudian dikukuhkan kembali dalam Memorandum Organisasi Konferensi Islam.
Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki berpendapat bahwa akal secara independen tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan kemashalahatan dan keburukankarena beberapa alasan, antara lain: pertama, akal manusia relatif berbeda dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Terkadang sesuatu dianggap baik oleh seseorang, sementara menurut orang lain tidak; kedua, akal tidak pernah lepas dari intervensi atau pengaruh hawa nafsu, propaganda pihak lain, konstruksi budaya dan berbagai motif yang terpendam; ketiga, jangkauan akal sangat terbatas tidak menebak tuntutan masa depan. Dengan demikian akal tidak bisa menjadi acuan independen yang legal, melainkan hanya sebagai instrumen untuk memahami obyektif syariat dengan melalui panduan ajaran Allah swt., yaitu panduan yang diproyeksikan sebagai prinsip hidup dan pedoman untuk menciptakan peradaban dunia yang lebih civilized. Sementara risalah samawi yang komprehensif adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

d) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik).
Maksud dari kaidah ini adalah akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-‘aql, takhshish bi al-‘aql, dan tabyin bi al-‘aql.
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an.
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama.
Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik klasik maupun kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data teks, sedangkan data teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap hal-hal yang tampaknya iarasional yang ada dalam Al-Quran dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks zhanniyat dalam Al-Quran saja. Di tangan kaum Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk mentakwil ayat-ayat yang mutasyabihat. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’yyat dari sudut struktur gramatika bahasanya.
Dalam ushul fikih memang ada kaidah yang jika dipahami sekilas, seolah-olah membenarkan metodologi kalangan liberal di atas, yaitu kaidah “Jawaz al-takhsish bi dalil al-Aql”. Kaidah ini menyatakan akal boleh menyulih dan memodifikasi nash-nash yang bermuatan universal dalam rangka spesifikasi (takhsish). Al-Qadhi Abu Bakar berpendapat “ilustrasi kaidah ini adalah ketika terdapat nash yang universal namun akal menolak keuniversalitasannya, maka akal berhak menyimpulkan bahwa kehendak nash tersebut sebenarnya adalah sebuah kekhususan yang bisa diterima oleh akal. Namun demikian tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan akal setara dengan redaksi tersambung yang mengcualikan redaksi sebelumnya (istitsna’ al-muttashil)”. Contohnya ayat Walillahi ‘Ala al-Nasi (QS Ali Imran: 97) yang artinya “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah”. Menurut Al-Qadhi dan Abu Hamid dalam menginterpretasi ayat tersebut rasio mempunyai otoritas mengecualikan anak kecil dan orang gila dari cakupan kata al-nas, karena keduanya tidak dapat memahami perintah Allah Khithab.
Al-Naqsyawani berpendapat bahwa kaidah di atas tidak secara mutlak berlaku pada setiap teks universal, tetapi terbatas pada ayat-ayat Ahkam saja., karena para ahli fikih dan ushul fikih tidak pernah membahas persoalan di luar dalil syar’i. Setelah menerangkan fungsi dan obyek kaidah ini, Naqsyawani menggarisbawahi –dalam kaitannya dengan kaidah takhshish bi al-‘aql dengan mengatakan “akal secara independent tidak dapat menspesifikasi (takhsish) terhadap nash-nash universal kecuali dengan dasar dalil syar’i yang lain.” Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam literature ushul fikih memang terdapat kaidah yang menyatakan bahwa akal dapat menyulih nash-nash, akan tetapi bukan berarti akal bisa menyulih nash-nash secara independent tanpa panduan dari dalil syar’i.

C. Beberapa Karakteristik Ijtihad
Ada beberapa karakteristik ijtihad yang dikembangkan oleh JIL antara lain:
1. Mengadopsi Metode dan Pemikiran Barat
Pada tahun 1970-an, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menawarkan ide sekularisasi dan reaktualisasi Islam yang berarti ijtihad. Untuk dapat menerapkan ijtihad ini, penting sekali memahami dan meresapi masa klasik Islam yang dikenal masa salaf, yaitu masa lampau yang berwenang dan berotoritas. Selain itu dalam berijtihad juga diperlukan metodologi yang memadai, dalam hal ini Cak Nur menawarkan metodologi Barat. Sebab pemahaman yang segar tentang Islam bisa diperbaiki dengan mengambil dan memperbaiki metodologi pemikiran, sekalipun berasal dari Barat.
Pondasi yang diletakkan oleh Caknur ini rupanya berimplikasi pada pemikiran kaum liberal sekarang ini. JIL yang merupakan “anak asuh” Cak Nur mengamalkan ide yang reaktualisasi ijtihad dengan menggunakan metode Barat, bahkan mereka sangat berlebihan, sehingga ketika mendengar kata pemikran JIL, maka konotasi yang muncul adalah pemikiran tokoh-tokoh Barat dan orientalis.
JIL lebih banyak mengadopsi pemikiran mereka dari pada pemikiran tokoh-tokoh Islam, baik yang klasik maupun kontemporer, bahkan Nabi sekalipun. Seolah-olah Barat merupakan referensi utama bagi ijtihad mereka. Mereka lebih mempercayai para orientalis dan tokoh Barat daripada Syafi’i, Hanafi, Malik, dan Ahmad. Dengan mengadopsi Barat, mereka mengklaim dirinya telah menggunakan metode ilmiah, obyektif, berpijak pada netralitas yang ‘ketat’, serta “tanpa tujuan ideologis” tertentu. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya tertarik pada aspek pemahaman dan pengetahuan semata, dengan berpijak pada ‘metode’ yang mereka percayai dapat mengantarkan ke arah situ—metode ilmiah para orientalis.
Ketika mereka mengatakan hal tersebut, mereka lupa atau pura-pura lupa, bahwa saat mereka meminjam pemikiran atau metode orientalis, maka pada saat yang sama, mereka ini juga sebenarnya mengadopsi visi (baca: ideologi) para orientalis. Muhammad ‘Abid al-Jabiriy, yang dikenal liberal pun mengkritik sikap yang demikian ini secara interogatif: “Bukankah ‘visi’ dan ‘metode’ adalah sesuatu yang tidak terpisahkan.
Karena terlalu sering mengadopsi pemikiran Barat, paradigma dan sudut pandang (mathla’) yang mereka gunakan pun menjadi kebarat-baratan, atau bahkan benar-benar Barat. Ketika menilai doktrin-doktrin Islam, mereka memakai parameter demokrasi, HAM, jender, atau pluralisme, yang semuanya tersebut ‘diimpor’ mentah-mentah dari Barat. Jadi, sadar atau tidak sadar, proses yang sedang mereka lakukan sebenarnya adalah menyesuaikan ajaran Islam dengan Barat. Dengan kata lain, Islam dikoreksi oleh Barat, dan bila ada ketidaksesuaian, maka yang mesti menyesuaikan adalah ajaran Islam.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh kaum liberal di atas bertujuan positif, yaitu untuk kemajuan Islam, sehingga perlu metodologi dan strategi serta konsep yang jitu. Dan mereka berpandangan bahwa semua ini ada apada pemikiaran Barat, sehingga tanpa korekasi mereka mengadopsi pemikiran Barat begitu saja. Namun, tanpa meraka sadari mereka terjebak dalam kerangka metodologi dan konsep Barat yang sama sekali tidak mengacu pada kaidah-kaidah hukum Islam, sehingga penyesuaian nilai-nilai dan ajaran Islam terhadap nilai-nilai dan ajaran produk peradaban Barat tersebut dapat berakibat hilangnya pokok pikiran Islam yang sesungguhnya landasan utama.
Pemikiran semacam ini akan “meletakkan” Islam dan segala produk peradabannya di bawah peradaban Barat. Peradaban Islam akan tunduk ‘bersimpuh” di hadapan peradaban Barat. Dalam hal ini, patut untuk kita renungkan apa yang dikatakan secara jujur oleh salah seorang orientalis, Rosenthal, bahwa: “suatu peradaban cenderung berjalan di atas konsep-konsep penting… Yang telah ada sejak kelahirannya…. jika (konsep-konsep) itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati.”
2. Memposisikan Akal di Atas Nash
Kebebasan akal menjadi perhatian khusus oleh kalangan liberal, karena akal sebagai perangkat pokok dalam melaksanakan ijtihad. Berdasarkan asas yang mereka pegang “Islam yang membebaskan” maka dapat dimaklumi apabila mereka “meletakkan” akal di atas nash, baik Al-Quran maupun Sunnah. Mengenai hal ini telah banyak disinggung pada pembahasan sebelumnya.
3. Penggunaan Konsep Mashlahah tanpa Batasan yang Jelas.
Maslahat merupakan hakikat tujuan hukum Islam. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Maslahat di sini berarti jalbul manfa'ah wadaf' al-mafasid (menarik kemanfaatan dan menolak kemadharatan).
Dalam teori hukum Islam, maslahat seringkali dianggap sebagai ‘principle of legal reasoning’ (prinsip rasionalisasi hukum), untuk memberikan argumentasi bahwa: “good” is “lawful” and that “lawful” must be “good” (kebaikan adalah yang sah menurut hukum, dan apa yang sah menurut hukum mestilah baik). Dalam praktek penggunaannya, maslahat memiliki dua arti: (a) maslahat dalam pengertian umum—dekat dengan ra’yu, dan (b) maslahat sebagai istilah teknis. Maslahat sebagai metode terus mengalami perkembangan, hingga pada akhirnya sekarang mengerucut menjadi dua trend besar.. Pertama, trend yang dalam memakai metode maslahat terikat pada ‘aturan main’ sebagaimana sejak dulu dipraktekkan ulama salaf. Kedua, trend yang dalam memakai metode maslahat cenderung lebih bebas, dan trend inilah yang dianut oleh JIL.
Trend yang pertama memang menyediakan aturan main. Dengan mengikuti gaya berpikir trend pertama, penggunaan maslahah sebagai metode legislasi seolah hukum Islam dapat terjamin dari pengembangan yang ‘liar’, sebab ia dipagari oleh berbagai aturan main. Persoalannya terbesarnya adalah aturan main yang ditawarkan oleh model ini masih terlalu abstrak, dalam artian, terlalu umum sehingga tidak begitu jelas dan multi interpretatif. Hal ini tentu akan menyediakan ruang yang begitu besar untuk subyektifisme. Selain itu, ‘aturan main’ yang ditawarkan olehnya juga tidak mungkin dimainkan oleh ulama-ulama Indonesia yang—diakui ataupun tidak—pengetahuannya lebih banyak cenderung kepada fiqih dariapada ushul fiqih maupun sumber-sumber asli hukum Islam. ‘Aturan main’ yang ditawarkan oleh trend pertama ini hanya mungkin dimainkan oleh ulama-ulama ‘kaliber internasional’, atau kalau tidak, dalam ijtihad yang sifatnya kolektif (ijtihad jama’iy). Argumennya sangat sederhana, sebab bagaimana mungkin mereka dapat menguji apakah suatu maslahat bertentangan atau tidak dengan maqashid, kitab, sunnah, maupun ijma’, sedangkan pengetahuan mereka lebih banyak kepada ‘fiqih yang siap saji’—sehingga pengetahuan mereka tentang kandungan Qur'an maupun Sunnah tidaklah mungkin seutuh pengetahuan ulama yang mencetuskan ‘aturan main’ ini. Pada akhirnya, dalam keadaan yang seperti ini, ‘aturan main’ yang telah ada tidak bisa dipatuhi secara benar dan tetap membuka peluang pengembangan yang keluar dari pagar.
Sedangkan metode yang kedua, tanpa didiskusikan terlalu jauh, tentulah dapat langsung diketahui kelemahannya. Hal ini karena mereka tidak membuatkan ‘aturan main’ yang jelas dan tegas. Penentuan maslahat yang dikembalikan kepada ‘rasa keadilan’, ‘pendapat/penilaian umum’, ‘kepantasan’, dan yang sejenisnya, jelas akan sangat subyektif sifatnya. Keadilan menurut si A belum tentu adil menurut si B. Pantas menurut C tidak selalu pantas menurut D. Demikian seterusnya, hingga tidak ada batas yang jelas lagi tentang apa itu maslahat, apa itu adil, dan apa itu yang dikehendaki oleh umum.
Mengutip V. J. Apeldoorn, dalam hukum positif ada adagium yang sangat terkenal, yaitu: “summum ius, summa iniuria” (keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi). Adagium ini muncul berkaitan dengan pertikaian yang tidak pernah berujung antara tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum. Makin banyak hukum memenuhi kepastian hukum (hukum yang tetap dan jelas), maka makin terdesaklah keadilan. Bila ada dua pihak yang sedang berhadap-hadapan dalam hukum, maka semakin tinggi keadilan yang dirasakan oleh salah satu pihak, semakin tinggi pula ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak lain.
Salah seorang pakar hukum, John Rawls pernah membandingkan berbagai konsep keadilan—beserta kelebihan dan kekurangan masing-masing—dalam bukunya yang sangat terkenal, A Theory of Justice. Ia ternyata akhirnya lebih memilih dan lebih percaya pada kinerja formal dari hukum, bahkan sampai mengatakan: ‘where we find formal justice, the rule of law and the honoring of legitimate expectations, we are likely to find substantive justice as well’ (ketika kita menemukan keadilan formal, menegakkan rule of law dan mempertahankan dugaan-dugaan yang sah, maka kita kemungkinan besar juga menemukan keadilan substantif). Kesimpulan yang demikian ini, lahir karena pertimbangan mengenai resiko dari penggunaan masing-masing konsep yang ada.
Penetepan mashlahat dengan menggunakan pertimbangan akal individu akan melahirkan ketimpangan dan kepincangan. Oleh karena itu, wajib ditetapkan standar lain yang diperhitungkan syara' bagi maslahat dan mafsadat yang menjadi dasar tasyri' umum, sehingga dapat mencakup individu dan masyarakat secara bersamaan, dan menimbang antara kebutuhan yang segera dan yang tidak segera. Karena itu, tidak dianggap sebagai maslahat kecuali sesuatu yang dipandang oleh syara' sebagai suatu maslahat. Hal ini untuk mencegah dari kekacauan standar pribadi, sehingga yag menjadi standar adalah syara'. Ada beberapa kriteria mashlahat yang harus dipegang oleh seorang mujtahid (1) memprioritaskan tujuan-tujuan syara' (2) Tidak bertentangan dengan al-Quran (3) Tidak bertentangan dengan al-Sunnah (4) Tidak bertentangan dengan prinsip qiyas (5) Memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar.
Bagaimanapun, semua aliran dan trend tentu akan menuju kepada suatu tujuan yang sama (kalau dalam hukum Islam: kemaslahatan). Hanya saja, cara pendekatan dari trend itulah yang kemudian membedakan satu sama lain. Aliran substantif berusaha untuk langsung menuju kepada apa yang menjadi tujuan tanpa terikat secara ketat oleh ‘aturan main’. Sedangkan aliran formalis, lebih suka mendekati tujuan tersebut melalui cara-cara formal dengan berbagai aturan main yang ketat. Bila dilihat dari resikonya, aliran formalis memang bisa dikatakan paling sedikit resikonya. Kelemahan terbesar aliran substansialis adalah tidak jelasnya batasan dan aturan main-nya, sehingga tidak mampu memberikan jaminan bahwa hukum tidak akan dikembangkan secara liar dan melenceng dari rel yang sebenarnya.
4. Ijtihad bi ruh al-syari’at’ untuk menabrak ‘nash qath’iy’
JIL sangat menekankan kebebasan individu untuk menginterpretasikan teks-teks agama tanpa harus mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disepakati ulama. mereka tidak menganut konsep qath’yyu al-dilalah. Bagi mereka semua teks agama mempunyai kedudukan yang sama, hanya saja dibedakan oleh sifat partikular dan universal. Dalam ushul fikih terdapat rambu-rambu eksplisit seperti la ijtihada fi mawarid al-nash (tidak ada ijtihad dalam koridor permasalahan yang berlandaskan nash qath’iy). Maksudnya dalam permasalahan yang hukum yang telah diterangkan oleh Allah swt. secara eksplisit dan sharih, ijtihad yang terbingkai dan terajut dalam bentuk bayani, yaitu usaha untuk menentukan hukum,tidak dibenarkan. Setiap muslim diwajibkan mematuhinya sebagai lambang kesetiaan dan keimanannya terhadap Allah swt. Selaku konseptor undang-undang tadi. Bagi ulama klasik, ayat-ayat seperti ini tidak mungkin bertabrakan dengan kepentingan manusia. Karena Allah-lah yang telah mengafirmasi ketentuan tersebut danMaha tau kondisi hamba-Nya. Yusuf al-Qardhawi mengungkapkan;”nash yang valid dari dari segi transmisi (qath’iy al-wurud) dan valid dalam hal maknanya (qath’iy al-dilalah) tidak mungkin bertabrakan dengan mashlahah qath’iyyah (kemaslahatan yang pasti). Karena sesama qath’iyyah tidak mungkin terjadi kontra diksi.
Mekanisme kerja interpretasi yang ditawarkan oleh Moqsith nampaknya perlu disikapi. Ia mengandaikan penafsiran yang tidak hanya literalistik, tetapi lebih jauh lagi ia menekankan adanya upaya ‘kontekstualisasi’,’ dekontekstualisasi’, dan ‘rekontekatualisasi’. Secara arif penulis menyatakan bahwa mekanisme itu tidak selalu salah,karena dalam memahami teks, tiga instrumen tersebut amatlah penting. Dalam diskursus ‘hermeneutikaporos tengah’ penulis telah membuktikan adanya teori-teori tersebut dalam turats Islam. Mekanisme seperti itu juga telah dikembangkan oleh Arkoun, Paul Ricoeur, Wilhelm Dilthey, yang sama-sama menekankan penafsiran dengan gerak ganda regresif-progresif/dekontekstualisasi-rekontekstualisasi/dekonstruksi-rekonstrusi.
Gerak ganda ini merupakan teori jitu yang dapat melepaskan teks dari konteks Arabannya. Akan tetapi yang harus dicatat, teori tersebut hanya dapat berlaku dalam teks yang bersifat “normative-partikular”,sementara ayat-ayat hudud adalah “normative-universal”. Norma universal ini dapat dibuktikan dengan kaidah ushul fiqh “’umum al-asykhash yastaljimu umum al-ahwal wa al-azminah wa al-biqa’” (sebuah redaksi yang mengandung universalitas individu-individu akan menemukan relevansinya, up to date dalam situasi maupun kondisi apapun, kapanpun dan dimanapun).


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Moqsith Ghazali (Penyunting), “Ijithad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keragaman yang Dinamis”, (Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005).

Abd. Moqsith Ghazali, “Membangun Ushul Fikih Alternatif” (www.islamlib.com, diakses pada 24/12/2004).

Abdul Karim Zaydan, “al-Wajiz fi Ushul al-fiqh”, (Yordania: Al-Maktabah al-Batsair, 1990).

Agus Maftuh Abegabriel, "Negara Tuhan" (Yogyakarta: SR-INS Publishing, 2004).

Ahmad Syakir, “Risalah, Tahqiq” (Kairo: tp, 1939).
Apeldoorn ”Pengantar Ilmu Hukum” (Jakarta: Pradnya Paramita. Jakarta, 2000).

Badruddin bin Muhammad Bahadir al-Zarkasyi, “Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt).

Charles Kurzman, “Liberal Islam” (New York: Oxford University Press, 1998).

Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, "Zaman Baru Islam Indonesia." (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998).

Hasan Al-Halabi, “Muslim Rasionalis”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1995).

Hasbi Ash Shidiqy, ”Falsafah Hukum Islam” (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001).

http//islamlib.com/id/tentangkami.php diaksese 15/03/2005.

Ibnu Khaldun, “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).

Ibnu Rusyd, “Fashlu al-Maqâl fî Mâ Baynal Hikmah wa al-Syarî`ah min al-Ittishâl, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah 1997).

Imam Al-Ghazalai, ”Al-mustashfa” (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah, tt.).

'Izzuddin 'Abdul 'Aziz, ”Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, tt).


Jalal Syamsudddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, “Al-Hasyiyah al-‘alamah al-Bannany ‘ala Matan Jami’ al-Jawami’ li al-Imam Tajuddin Abd al-wahhab ibn al-Subuki”, (tt: tp).

John Rawls, “A Theory of Justice” (Revised Edition), (New York: harvard University Press, Massachusetts, 2000).

Jurnal ISLAMIA, Thn II No. 6 Edisi Juli-September 2005 (Jakarta: Khairul Bayan, 2005).
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, "Wajah Baru Islam di Indonesia" (Yogyakarta: UII Press, 2004).

M. Nur Kholis Setiawan, “Al-Quran kitab Sastra Terbesar” (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005).

Muhammad ‘Abid al-Jabiriy, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, [terjemahan dari judul asli Arab-Islamic Philosophy: a Contemporary Critique], (Yogyakarta: Islamika, 2003).

Muhammad ‘Imarah, “Hawla Tanaqudl al-Naql—Al-Qur’an—ma’a al-‘Aql, dalam Al-Majlis al-‘A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah, Haqa’iq al-Islam fi Muwajahat Syubhat al-Musyakkikin” (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)

Muhammad Abu Zahrah, “Al-Ta’assuf fi Isti’mali al-Haqq, hal. 22, dalam Usbu’ al-Fiqhi al-Islamy, 12-16 Syawal 1380 H., Damascus: Al-Majlis al-A’la li Ri’ayat al-Syu’un wa al-Adab wa al-‘Ulum al-Ijtima’iyyah, 1380 H.

Munirul Abidin, “Menghindari Pertentangan Akal dan Wahyu, (Yogyakarta: Pustaka Zamzami, tt).

Mushthafa Al-Zarqa, ”al-Istishlah wa al-Mashalih al-Murasalah” (Damaskus: Dar al-Qalam, 1988).

Mustafid (Editor), “Kontekstualisasi Turast: Telaah Regresif dan Progresif, (Kediri: Kopral, 2005).

Ramadhan al-Buthy, ”Dhawabith al-Mashlahah fi al-Syari'ah al-Islamiyah” (Beirut: Muassasah al-risalah, 1986).

Saiful Anwar (Makalah), “Islam Liberal” disampaikan dalam seminar HP. CIPS.

Sayyid Muhammad al-Alawi al-Maliki al-Hasan, “Mafhum al-Tahawwur wa al-Tajdid fi al-Syari’ah al-Islamiyah” (Kediri: al-Sany, tt).

Suwono, ”Logika Hukum vs. Logika Publik”, artikel pada harian Balipost, dalam: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/13/o3.htm.

Syahrur “al-kitab wa Al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah.” (Beirut: Dar al-Kutub al-’ilmiyah, 1998).

Al-Syatibi, ”al-Muwafaqat”, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003).

______, ”al-I'tisham” (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Tt).

Taqiyyuddin Abu al-Baqa’ al-Futuhi, “Syarh al-Kawakib al-Munir”, (Mathba’aah al-Sunnah al-Muhammadiyah, tt).

Tim Penulis Paramadina, “Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis” (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004).

Ulil Abshar Abdalla, “Metode Pemahaman Islam Liberal”, Makalah dalam diskusi IIIT-Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2002.

Umar Farrukh, “Ikhwânus Shafâ: Dars, `Irdh, Tahlîl” (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991).

Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, Alih Bahasa, (Abu Barzani, (Surabaya, Risalah Gusti, 2000).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar