Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 10 Mei 2009

PONDOK PESANTREN, SANTRI DAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA

OLEH: IMAM MUSTOFA
Selama ini, sebagian besar pendidikan di pondok pesantren di Indonesia menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun tidak dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman, bahkan ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu.


PONDOK PESANTREN, SANTRI DAN ISLAM LIBERAL
DI INDONESIA
OLEH: IMAM MUSTOFA
Selama ini, sebagian besar pendidikan di pondok pesantren di Indonesia menampakkan wajah yang terkesan tradisional, klasik serta apa adanya. Namun tidak dipungkiri dengan citra wajah yang muncul seperti itu, justru tidak lapuk dimakan zaman, bahkan ditengah gempuran arus globalisasi yang kian menggila dan hedonisme masyarakat yang kian meningkat, pesantren tetap mampu memikat sebagai komunitas masyarakat untuk tetap dijadikan sebagai tempat menuntut ilmu.
Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan agama Islam yang sangat fungsional. Pesantren mampu memberi jawaban terhadap berbagai permasalah yang dihadapi masyarakat serta mampu mempertahankan eksistensi meskipun perubahan zaman berjalan dengan pesat. Bukan hanya itu, sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi. Penyesuaian diri ini adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modern) dan teknologi.
Pondok pesantren selalu memodernisasi sistem pendidikannya dengan tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja, akan tetapi juga mengajarkan mata pelajaran yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Dengan sistem pendidikan seperti ini maka pondok pesantren tidak hanya dapat bertahan, akan tetapi juga berkembang dan tidak pernah tertinggal oleh perkembangan zaman. Maka wajar apabila pesantren mampu mencetak banyak pemikir Islam Indonesia.
Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, maka pesantren segera menyesuaikan diri dengan melakukan proses urbanisasi intelektual. Santri-santri yang tadinya hanya membaca kitab kuning, memakai sarung, peci, kemudian merambah "dunia lain" dengan menjadi seorang pemuda yang membaca kitab putih, memakai jeans dan gaya parlente, menulis menggunakan computer, dan tidur di kantor-kantor yang serba beton. Maka wajar apabila ada yang menyebutnya dengan gejala “santri kota”.
Paham Islam Liberal
Lahirnya pemikiran Islam Liberal di kalangan pemikir dan intelektual Indonesiatidak dapat terlepas dari pengaruh dari para pemikir Barat yang menggagas liberalisasi Islam.Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang akhir-akhir ini semakin marak, sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal daripada perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam. Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku ini ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action.
Tema liberalisme Islam yang diangkat Binder merupakan tema yang mengangkat dialog terbuka antara dunia Islam dengan dunia Barat, antara pemikiran Islam dan Pemikiran Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan hanya menarik akar-akar trend “Liberalisme Islam” sampai ke dunia Barat, melainkan sebagai proses take and give yang saling mengisi dan menangani persoalan-persoalan kemodernan, transformasi sosial, dan tradisi lokal (dalam konteks Binder, tradisi Arab). Maka tokoh-tokoh yang diangkat adalah Ali Abd Roziq, Abdullah Laroi, Thariq al-Bisyri, Muhammad Imarah, Muhammad Arkoun, dan Sumir Amin, yang berdialog secara kritis dengan pemikir liberalisme Barat, sosialisme, mexisme dan dengan postmodernisme.
Pandangan lain tentang paham Islam liberal dikemukakan oleh Charles Kurzman dan Greg Barton, pemerhati Islam Liberal. Islam liberal dalam pandangan mereka mengacu pada “konteks Islami” dari pandangan-pandangan liberal di sebagian kalangan intelektual Muslim. Kurzman tidak melihat Barat sebagai faktor yang mempengaruhi kemunculan trend “liberal” dan tidak juga sebagai mitra dialog yang mempunyai kontribusi dalam kemunculan trend tersebut. Sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam disebut “liberal”, Kurzman menyebut enam agenda Islam Liberal, yaitu demokrasi sebagai lawan dari paham teokrasi, hak-hak perempuan, kebebasan berpikir, hak-hak non-Muslim dan gagasan kemajuan.
Misi Islam liberal, menurut Kurzman, bertitik tolak pada suatu rasionalitas untuk selalu menjaga kesinambungan syariah Islam dengan tuntutan sejarah. Dengan kerangka seperti ini, perkembangan diseminasi pemikiran Islam yang diproduksi oleh Islam liberal sebenarnya tak perlu dianggap aneh, apalagi dicurigai. Sebab meskipun dalam Islam melekat watak universitas, tetapi pada dataran praktisnya, Islam tetap memerlukan sebuah kerangka pandang, episteme, yang selaras dan senafas dengan semangat zaman.
Pemahaman yang hanya menyandarkan pada teks-teks dengan ketentuan normatif agama dan pada bentuk-bentuk formalisme sejarah Islam paling awal jelas sangat kurang memadai. Dan di kalangan sebagian besar umat Islam, pola semacam inilah yang berkembang dengan sangat subur. Jika ini terus-menerus dipertahankan, Islam akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, karena dengan pola pikir seperti ini, Islam akan menjadi agama yang historis dan eksklusif. Inilah yang menjadi keprihatinan Islam liberal.

Sikap Kaum Santri
Ketika ada wacana Islam liberal, pondok pesantren juga tidak mau tinggal diam, para santri menggeluti pemikiran Islam kontemporer yang kekiri-kirian. Mereka juga mulai merambah dan menekuni teori-teori sosial. Bahkan santri-santri atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren tampak mempunyai pandangan keislaman yang cukup berani jika dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah belajar di pesantren. Hal ini tidak terlepas dari peran civitas akademika pesantren yang mulai membuka diri dengan mengenal literatur-literatur tentang wacana Islam kontemporer seperti, Syed Hussein Nashr, Fazlurrahman, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan intelektual Islam kontemporer lainnya. Bahkam kalau kita telusuri lebih jauh, mayoritas petinggi kelompok liberal di Indonesia merupakan alumni pondok pesantren. Tokoh liberal seperti KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid adalah santri pondok.
Akhir-akhir ini muncul Jaringan Islam Liberal. Kelompok kajian sosial-keagamaan yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Mereka percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kelompok ini memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Lagi-lagi yang menjadi petinggi dan tokoh penting kelompok liberal ini adalah kaum santri yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Sekedar contoh adalah Ulil Abshar Abdalla, penggagas dan sekaligus kordinator JIL, Abd. Moqsith Ghazali, Luthfi As-Syaukanie, Taufik Adnan Amal, Hamid Basyaib dan sebagainya, merupakan kaum santri yang sudah bergaul dengan dunia liberal.
Kehadiran kaum santri di pentas pemikiran liberal tidak serta merta direstui atau didukung oleh para Kiyai. KH Mas Subadar yang merupakan sesepuh NU mendesak agar pengikut Jaringan Islam Liberal (JIL) yang masuk dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama di pusat maupun daerah dibersihkan. Permintaan Subadar itu disampaikan saat menghadiri acara Halal Bi Halal dan Koordinasi PWNU dan Cabang NU se Jatim di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Selasa (23/11/2004). Hadir dalam acara itu antara lain Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, KH Masduki Mahfud (Rois Syuriah PWNU Jatim). Alasan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pasuruan ini pemikiran JIL tidak cocok dengan pemikiran NU. Bahkan Kiai Subadar menuduh JIL telah melanggar Qonun Asas NU (landasan dasar NU), yakni pidato penting Rois Akbar KH Hasyim As'ary pada Muktamar NU ke III 1928 di Surabaya dan Muktamar ke IV 1929 di Semarang.
NU yang nota bene lembaga kaum santri juga tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran liberal. Konferensi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Ulum "AL-YASINI" Areng-areng Pasuruan pada tanggal 11-13 oktober 2002 mengeluarkan taushiyah atau rekomendasi yang intinya menolak pemikiran-pemikiran JIL. Di antara isi rekomendasi tersebut antara lain berbunyi: ”Kapasitas institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran 'Islam Liberal' dalam masyarakat. Apabila pemikiran 'Islam Liberal' tersebut dimunculkan oleh pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istiabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU)".
Melihat gambaran di atas, kita bisa simpulkan bahwa sikap kaum santri terhadap paham Islam liberal terbagi menjadi dua; yang pertama menolak dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi pesantren dan bisa mengaburkan eksistensi ajaran Islam. Dan yang kedua menerima dengan alasan pemikiran-pemikiran Islam liberal merupakan sentuhan-sentuhan epistem dalam mengarungi perubahan global. Dengan demikian Islam tetap akan mampu dan dapat memberikan kontribusi bagi kemanusiaan.
Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi dan bahkan dijadikan momen untuk mengembangkan pola pendidikan, sehingga melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun. Mereka diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab, karena di pesantren selalu diajarkan membangun kesolehan spiritual yang harus ditransformasikan dalam masyarakat atau kesolehan sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar