Minggu, 10 Mei 2009
PENJARA SUCI
Hening malam membisu seribu bahasa. Sayap-sayap langit terurai menelungkup bumi menebarkan kegelapan. Angin dingin berhembus, mengembara tanpa arah tujuan yang jelas dan menerpa benda-benda yang ia lalui. Ia terus berhembus dan akhirnya menembus celah jendela yang terbuka di subuah gedung berlantai dua.
PENJARA SUCI
OLEH: IMAM MUSTOFA
Hening malam membisu seribu bahasa. Sayap-sayap langit terurai menelungkup bumi menebarkan kegelapan. Angin dingin berhembus, mengembara tanpa arah tujuan yang jelas dan menerpa benda-benda yang ia lalui. Ia terus berhembus dan akhirnya menembus celah jendela yang terbuka di subuah gedung berlantai dua.
Seorang pemuda yang sedang lelap di peraduan, tenggelam dalam mimpi menggerak-gerakkan tangannnya. Sedikit demi sedikit ia mulai tersadar. Tak lama kemudian ia mengangkat kepala dari bantal, kemudian menggerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri. Kemudian menoleh ke arah jam dinding yang terpasang di dekat sebuah lukisan kaligrafi bertuliskan ayat “waminallaili fatahajjad bihi nafitalaka” beremotif biru tua yang terbuat dari kanvas dengan bingkai keemasan. Jarum jam menunjukkan pukul 03.00.
Hembusan angin malam yang menembus jendela kamar rupanya menyentuh pori-porinya dan merasuk kesuluruh tubuhnya menebarkan rasa dingin sampai menyentuh tulang sum-sumnya. Merasakan dinginnya udara malam yang menyadarkannya dari mimpi tidak membuatnya melanjutkan lelapnya, mengambil selimut yang terhempas dari tubuhnya dan mengurainya di atas badan kemudian melanjutkan lelapnya. Ia malah terbangun.
Perlahan ia mengayunkan langkah kakinya menuju pintu kamar, membukanya kemudian keluar. Ia menuju kamar mandi sesampainya di depan kamar mandi jari tangannya memencet saklar lampu. Lampu menyala menerangi kamar mandi yang berukuran 2X 1,5 meter. Ia masuk dan memutar keran air. Mengalirlah air jernih nan bening dari ujung keran itu. Perlahan pemuda berambut hitam lebat dan lurus itu menjulurkan tangannya kearah aliran keran. Seketika rasa dingin menusuk kulitnya dan merasuk ke seluruh tubuh. Ia tidak mempedulikannya. Ia tetap melanjutkan mencuci tangannya, lalu membasuh muka.
Hempasan air dari tangan yang mengenai muka semakin menyadarkannya dari mimpi. Kemudian mulailah mengalirkan air ke seluruh anggota wudhu satu persatu. Dimulai dari berkumur. Tiga kali ia memasukkan air ke rongga mulutnya dan menggerakkan sampai terasa air itu telah menerpa seluruh rongga mulutnya. Dalam hati ia berkata: “wahai mulut.... berapa banyak dosa yang engkau lakukan selama ini?, Berapa kali engkau lalai menyebut nama penciptamu? berapa kemaksiatan yang telah timbul darimu? Berapa penghianatan yang telah kamu lakukan? Dengan air wudhu ini, aku berharap akan mensucikan semua kelalain dan dosa-dosamu. Dengan air suci ini aku berharap Allah mensucikanmu dari kesalahan-kesalahan dan kemaksiatan yang engkau perbuat. Menjadilah engkau anggota yang suci demi rasa syukur terhadap penciptamu.”
Untuk kali ketiga ia membuang air dari dalam rongga mulutnnya sambil berharap semua kesalahan dan dosa yang dialukan oleh lisan dan birinya terbuang bersama air yang ia semprotkan.
Kemudian pemuda yang berhidung mancung itu memasukkan air ke rongga hidungnya lalu mengeluarkan dan membuangnya. Sambil ia melakukannya, dalam hati ia berkata, “wahai hidung… berapa kesilapan yang telah kau lakukan? Berapa kali engkau berpaling dari penciptamu? Berapa banyak kemaksiatan yang telah engkau hisap dan engkau hembuskan? Dengan air bersih ini aku berharap dapat membersihkan semuanya, mensucikanmu dari kesalahan dan dosa yang telah kau lakukan, jadilah engkau indera yang suci”. Pemuda itu melakukannya sampai tiga kali.
Sementara air keran masih mengalir, tangannya menadah air dan mengusapkannya ke wajahnya bersih nan bersinar. Dalam hatinya berkata: “Wahai wajahku.... berapa kali engkau berpaling dari penciptamu? Berapa kali engkau menantang Tuhanmu? Berapa kali engkau telah menghadap kearah kemaksiatan? Semua itu adalah penghiantan atas nikmat penciptamu.... dengan air bening ini aku berharap dapat membersihkanmu dari noda-noda dan dosa. Dengan air suci ini aku harap dapat mensucikanmu dari kehinaan dan kenistaan karena kemaksiatanmu...”
Setelah tiga kali ia mlekukannya kemudian pemuda itu membasuh tangannya sebanyak tiga kali. Sambil melakukannya hatinya berkata: “wahai tanganku.... berapa banyak kejahilan yang engkau lakukan? Berapa kali engkau menyakiti orang lain? Berapa kali engkau menyentuh larangan tuhanmu? Melalui air bening ini aku memohon kepda Allah semoga menjadikanmu bening dari dosa-dosa yang telah engkau perbuat. Dengan air suci ini semoga engkau disucikannya dari catatan hitam kesalahan yang telah engkau lakukan selama ini...”
Ia membasuh semua nggota wudhunya. Bersamaan dengan itu pula dalam hati ia introspeksi dan menghitung-hitung kesalahan anggota tubuhnya. Kemudian ia menasehartinnya agar selalu berada dalam garis ketakwaan dalam segala aktifitas dan memohonkan ampun, pembersihan dari segala noda dan kotoran, baik lahir maupun batin. Ia sangat berharap segala kotoran dan noda yang menempel di anggota tubuhnya, hati dan pikirannya runtuh bersama dengan sisa air wudhu yang menetes.
Setelah selesai berwudhu, ia menengadahkan tangannya ke langit karena sangat berharap, sementara kepalanya menunduk karena malu kepada penciptanya. Dengan penuh oenghayatan berdoa:
“Ya Allah Ya Tuhanku, pencipta langit dan bumi serta segala isinya, pecipta siang dan malam, jadikanlah aku sebagai hamba-Mu yang mau bertobat, dan jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang mau bersuci dan selalu dalam keadaan suci, dan jadikanlah hamba-Mu yang hina ini bagian dari hamba-hamba-Mu yang shaleh”.
Selesai berdoa, ia mengayunkan kaki melangkah menuju kamar di mana ia tadi terlelap. Sebuah kamar di lantai dua disebuah bangunan di Pinggiran kota Yogyakarta. Bangunan itu adalah gedung Pondok pesantren mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia (UII).
Pemuda itu tak lain adalah Fuad, salah seorang santri di pesantren perguruan tinggi tertinggi tertua di Indonesia. Santri yang mempunyai nama lengkap Fuad Hasan ini kemudia menaggalkan kaos lengan panjang berwarna biru dari badannya. Kemudia mengenakan kemeja warna putih bergaris hitam kecil-kecil. Setiap pukul tiga malam ia sudah terbangun untuk bermunajat kepada Allah dan kumudian menjalankan aktifitas sebagai santri Pesantren Unggulan UII.
Pondok Pesantren UII terletak di pinggiran kota Yogyakarta. Lokasi pinggiran kota yang agak sepi dari keramaian deru kendaraan dan jauh dari mall sengaja dipilih oleh para pendirinya agar santri yang tinggal dan menuntut ilmu di pondok ini bisa konsentrasi penuh, dan tidak terganggu. Bangunan pondok berlokasi di pinggir jalan yang menghubungkan Dusun Babar Sari dengan Jalan Afandy yang sebelumnya bernama Jalan Gejayan. Di seberang jalan ada aliran selokan mataram yang airnya cukup jernih dan tampak segar.
Bangunannya tidak terlalu megah namun cukup kuat dan gagah, ini terbukti ketika ada goncangan gempa bumi 7,5 skala richter pada tanggal 27 Mei 2006 yang menewaskan lebih dari tujuh ribu orang gedung yang dihuni santri dari berbagai penjuru in tidak sedikitpun berpengaruh. Kondisi gedung bercat warna hijua muda ini tetap tegar kokoh berdiri, tidak sedikitpun terjadi keretakan pada dindingnya. Padahal hampir seluruh bangunan yang berada di sekitar lokasi pondok retak dan bahkan ada yang roboh.
Kuatnya fondasi dan kokoh dan kerangka beton penyangga bangunan pondok yang dirancang oleh arsitek handal dengan menggunakan bahan pilihan dan unggulan serta pengerjannya dilakukan secara profesional menjadikan pondok ini tidak terpengaruh oleh guncangan gempa bumi sekalipun. Demikian juga para pendiri dan pengajar di pondok ini menanamkan ilmu dan nilai-nilai moral yang kokoh dan menancap dalam-dalam di hati para santri, penanaman nilai-nilai moral qur'ani dan tauladan baginda Rasul, salafus shalih, ulama al-‘amilin al-mukhlishin sehingga setiap sikap, sifat ucap dan perilaku santri selalu dihiasi oleh nilai-nailai akhlakul karimah.
Di depan pondok terdapat taman yang dihiasi dengan berbagai warna-warni bunga. Taman ini didesain dan dibuat oleh para santri. Mereka semangat dan rajin menanam bunga dari berbagai jenis warna dan aroma sebagaimana mereka rajin dalam menimba dan mendalami berbagai ilmu yang diajarkan di di pondok ini. Kesegaran dan aroma wangi keindahan bunga di taman ini seolah menggambarkan kesegaran semangat dan perjuangan mereka dalam mengembara di tengah-tengah samudera ilmu dengan harapan dapat mewarnai dan memberikan aroma intelektualdan keshalihan sepiritual di setiap komunitas mereka dalam masyarkat.
Santri penghuni pondok yang didirikan pada tahun 1996 ini tidak terlalu banyak, yaitu sekitar lima puluhan santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di penjuru nusantara. Jumlah yang tidak terlalu banyak ini karena proses untuk masuk menjadi santri progaram unggulan ini tidaklah mudah.
Untuk menjadi santri pondok pesantren yang khusus hanya untuk laki-laki ini memang harus memenuhi beberapa syarat yang agak berat, karena calon santri harus menguasai minimal dua bahasa asing, bahasa Inggris dan Arab. Penguasaan bahasa Inggris dibuktikan dengan sertifikat TOEFL dengan sekor minimal 450. Untuk bahasa Arab, calon santri harus mampu membaca kitab kuning atau kitab gundul. Selain itu calon santri harus mampu berkomunikasi dengan dua bahasa asing tersebut. Persayaratan lainnya yang harus dipenuhi oleh calon santri adalah, mereka harus lulus psiko test dan wawasan kepesantrenan, pengetahuan umum dan tentunya pengetahuan agama.
Berat memang persyaratan untuk menjadi penghuni penjara suci ini, namun bagi mereka yang lulus tes untuk menjadi santri akan mendapatkan beasiswa full Study yang meliputi bebas pembayaran SPP. Catur Dharma, Uang praktikum, KNN, dan wisuda dan biaya akademik lainnya. Selian itu merek ajuga berhak menggunakan berbagai fasilitas yang tersedia di dalamnya. Fasilitas yang di dapatkan santri ProgramUnggulan ini cukup representatif dan sangat nendukung untuk mengembangkan intelektualitas, meningkatkan spiritualitas dan akhlak al-karimah serta pengetahuan dan wawasan.
*****
Setelah selesai berganti baju dan kemudian mengenakan sarung, Fuad memasuki kamar-kamar di lantai satu dan dua membangunkan santri lainnya untuk qiyamulail. Ia memang mempunyai kepedulian yang tinggi kepada teman-teman seperjuangannya. Dia tidak mau bangun dan bermunajat menghadap dan mengiba kepada Tuhannya sendirian, sementara teman-temannya yang lain terlelap dan tenggelam di alam mimpi. Baginya itu adalah sikap egois. Ia berusaha untuk membangunkan santri lain. Bias jadi mereka berminat untuk bangun malam, namun karena terlelap dan tidak ada yang membangunkan akhirnya menyeal di pagi harinya.
“Qum, qum,qum,qum,” suaranya lantang memecah keheningan malam.
“Ayo bangun, bangun, bangun, bangun” ia mengulangi ajakannya untuk qiyamullail.
Setelah semua kamar ia masuki dan dan membganunkan penghuninya, santri yang berasal dari Rembang Jawa Tengah itu melangkah menuju masjid yang terletak di sebelah Asrama tempat mukim santri.
Sebagian besar santri yang terbiasa bangun malam akan merasa enteng untuk beranjak dari peraduan, tanpa harus dibangunkan oleh santri lainnya atau bahkan pengasuh. Namun, ada beberapa santri yang agak susah dibangunkan oleh santri yang lain. Untuk mengatasi ini biasanya Pengasuh langsung turun tangan.
Malam itu Pengasuh masuk kamar “Ibnu Rusyd”, yaitu kamar Farhan dan Syafrizal yang berada di lantai dua dua kamar sebelah kanan kamar Fuad yang terletak di gedung A. Gedung A merupakan bangunan yang terdiri dari 32 kamar tidur santri. Kamar-kamar di gedung A diberi nama yang diambil dari nama tokoh-tokoh Islam dari zaman sahabat sampai intelktual Muslim zaman pertengahan. Nilai filosofis pemberian nama kamar santri diambil dari tokoh-tokoh muslim adalah agar santri yang tinggal di dalamnya bisa mencontoh keilmuan dan kematangan spiritual serta keshalehan sosial tokoh-tokoh tersebut.
Masing-masing kamar berukuran 5x4 meter. Di dalamnya dilengkapi dengan dua dipan lengkap dengan kasur dan bantal, dua almari pakaian, dua buah rak buku, satu unit meja belajar dan satu unit komputer sebagai fasilitas belajar santri. Di langit kamar tepasang dua bola lampu yang sangat terang dengan harapan santri tidak lagi memerlukan lampu belajar. Fasilitas ini cukup representatif untuk mengembara menjelajahi lautan ilmu yang tersebar dilembar-lembar karangan ulama dan tokoh ilmuan zaman klasik sampai kontemporer; Atau dari softwere atau keping-keping CD atau DVD yang berisi berbagai ensiklopedi berbagai bidang disiplin ilmu, baik yang terkait langsung dengan ilmu keislaman maupun ilmu umum.
Farhan dan Syafrizal tinggal satu kamar. Kedua santri ini dikenal paling susah dibangunkan, dan kurang semangat mengikuti kegiatan-kegiatan di pesantren. Kalau saja penempatan kamar tidak berdasarkan undian, nampaknya kedua santri ini tidak akan tinggal satu kamar.
“Bangun, bangun, bangun wahai anakku, malaikat rahmat merindukan lantunan dzikirmu nak....” suara sang Ustadz sambil perlahan menggerakkan kaki Farhan.
“Mereka sudah semalaman mendoakan dan memohonkan rahmat kepada Allah, mengapa kalian masih terlelap”.
Mendengar suara yang sudah tidak asing ini Farhan menggeliatkan badannya dan mengangkat kepalanya dari bantal, kemudian duduk.
“Mari Shalat malam Farhan.., itu teman-teman sudah pada ke masjid, santri Unggulan jangan kalah dengan serangga malam yang sejak semalam tanpa jenuh terus berdzikir dan memajatkan pujiannya kepada Allah.” Ucap sang Ustadz sambil menepuk-nepuk pundak Farhan agar ia semakin tersadar dari tidurnya.
Ungkapan yang tidak asing ditelinganya ini menggerakkan Farhan untuk beranjak. Ungkapan ini cukup familiar bagi pendengarannya, karena hampir setiap malam ia dibangunkan pengasuh. Ia beranjak dari ranjangnya dan keluar menuju tempat wudhu. Setelah Farhan terbangun kemudian sang Ustadz membangunkan Syafrizal yang tidur di ranjang yang letaknya bersebelahan dengan ranjang Farhan. Setelah keduanya bangun dan menuju kamar mandi untuk bersuci dan mengambil air wudhu, kemudian Ustadz sudah empat tahun mengabdi di UII ini bergegas menuju masjid.
Pengasuh pondok pesantren Unggulan ini cukup penyabar, mengayomi dan memiliki jiwa yang cukup dewasa untuk menjadi serang ayah dari puluhan santri yang tinggal di pondok mahasiswa. Ia adalah Ustadz Mahmud Muhammad Mamduh, Ph.D. Beliau mendapatkan Ph.D bidang Filsafat Islam, Departemen of Philosophy, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turkey. Pridikat akademik yang cukup mentereng ini tidak membuat Ustadz Pengagum Al-Ghazali ini sungkan atau canggung untuk bergaul dengan santri-santri yang secara keilmuan dan akademik jauh di bawahnya. Ia masih mau mendatangi kamar-kamar santri untuk sharing keilmuan dan wawasan atau hanya untuk membangunkan santri yang susah bangun.
Setelah mengambil air wudhu, para santri kemudian menuju masjid untuk shalat sunah tahajjud, shalat hajat dan sahalat sunnah lainnya. Bermunajat, bersimpuh, mengiba, memohon sebagai bukti penghambaan kepada Tuhan pencipta semesta alam.
Suasana hening, para santri hanyut dalam penghayatan dan keasyikan dengan percintaan mereka dengan sang Khaliq. Sesekali terdengar suara istighfar, tahmid dan tahlil yang menggetarkan hati. Getaran yang mengandung kekuatan yang sanggup menggoncang istana langit dan menggerakkan sayap-sayap malaikat, meneteskan embun rahmat ke muka bumi menyebar ke seluruh penjuru semesta. Melenyapkan kepenatan jiwa, membersihkan hati yang kumuh oleh dosa-dosa.
"Tidaklah suatu kaum duduk untk berdzikir pada Allah, kecuali para malaikat mengitari mereka, rahmat memayunginya, ketenangan turun padanya dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada disisi-Nya (HR.muslim)”
Meskipun jumlah mereka cukup banyak, dan hampir memenuhi masjid yang berlantaikan marmer putih berlapis permadani hijau itu, namun seolah mereka menyendiri dan tenggelam dalam sepi, berkhalwat dengan Allah. Jiwa-jiwa mereka mengembara bersama angin malam dan melambung ke angkasa jagad raya bertemu dan menyatu dengan kasih sayang Penciptanya. Terpaan angin yang sangat dingin tampaknya tidak mempengaruhi kekhusu’an para hamba Allah yang sedang dilanda kerinduan ini. Mereka bahkan merasakan kehangatan merasuk dalam jiwa, kehangatan selimut kasih sayang-Nya yang mampu menghempaskan dinginnya terpaan angin malam.
Malam merayap mendekati pagi. Shubuhpun menyapa dan menyambut malam yang berpamitan. Suara adzan saling bersahutan dari berbagai penjuru, laksana serangga malam yang bersahutan melantunkan dzikir.
Muadzin di pesantren ini digilir berdasarkan jadwal yang dibuat oleh departemen ubudiyah Organisasi Pondok Pesantren (OSPP). OSPP adalah organisasi kerumahtanggan pesantren yang ranah kerjanya adalah lingkup internal pesantren. Diantara program kerjanya adalah menjalankan roda aktifitas ubudiyah santri, menjalankan program bahasa melalui kultum, pemberian mufrodat atau kosa kata bahasa asing dan menggerakkan santri untuk melaksanakan kewajiban bersih-bersih sesuai jadwal harian dan mingguan, mengkoordinasi dan mengatur kegiatan olah raga aktifitas lain yang berkaitan dengan kerumahtanggan. Untuk menjalankan program ini OSPP membentuk beberapa departemen, antara lain departemen ubudiyah, departemen bahasa dan seni, departemen kebersihan, departemen olah raga dan departemen keagamaan.
Meskipun muadzin bertugas sesuai dengan jadwal, namun khusus waktu shubuh ada seorang santri yang didaulat untuk menjadi spesialis muadzin subuh. Ini karena suara santri ini cukup merdu dan lantang.
“Allahu akbar Allahu Akbar” lantang suaranya memecah keheningan fajar di pinggiran kota Yogyakarta. Menggetarkan hati mukmin yang mendengarnya. Menggugah jiwa-jiwa yang terpenjara dalam lelap malam, menggerakkan jasad yang terbungkus kehangatan selimut lembut di peraduan.
Muadzin itu adalah Maulana Yusuf. Santri yang biasa dipanggil Ucup ini bersal dari Jember. Ucup adalah santri yang berhasil meraih gelar “Santri Abid” di Pondok Pesantren Unggulan ini. Gelar “Santri ‘Abid” diberikan kepada santri yang rajin dalam menjalankan ibdah-ibadah mahdhah, khususnya melaksanakan amalan-amalan sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, shalat Rawatib dan amalan-amalan sunnah lainnya.
Setiap awal tahun ajaran memang diadakan acara penganugerahan berbagai predikat kepada para santri. Ada nominasi santri ‘abid, santri berprestasi, santri paling rajin dan santri teladan. Gelar santri ‘Abid dianugerahkan kepada santri yang rajin menjalankan ibadah, baik yang wajib maupun ibadah sunnah. Gelar santri berprestasi dianugerahkan kepada santri yang paling banyak mendapatkan prestasi dalam bidang akademik, seperti Indeks Prestasi di atas 38 (cumlaude), menjuarai berbagai perlombaan karya ilmiah, baik lokal, regionla, maupun nasional, dan dan perlombaan-perlombaan lainnya. Predikat santri rajin disandangkan kepada santri yang paling rajin menjalankan tugas-tugas pondok sesuai dengan jadwal yang disepakati, seperti bersih, bersih, menjadi muadzin dan imam shalat dan rajin olah raga.
Predikat santri teladan dianugerahkan kepada santri yang di dalam drinya terkumpul predikat-predikat di atas. Yaitu mempunyai prestasi akademik yang gemilang, rajin menjalankan ibadah, banyak menghasilkan karya ilmiah yang dipublikasikan, baik melalui koran, jurnal ilmiah maupun website, rajin menjalankan kewajiban pesantren, rajin berolah raga, dan tentunya mempunyai kemampuan berbahasa asing, baik lisan maupun tulisan di atas santri-santri yang lain.
Perhelatan penganugerahan berbagai predikat ini biasanya diadakan pada waktu pembukaan tahun ajaran baru, yaitu saat stadium general pondok pesantren. Acara ini dihadiri oleh para pendiri Pondok pesantren unggulan ini, jajaran Badan Wakaf dan Rektorat Universitas Islam Indonesia, para Dosen dan dengan pembicara kaliber nasional dan bahkan internasional.
Predikat santri ‘Abid tahun ini mamang disandang oleh Ucup. Sebelum nyantri di pondok ini, santri yang hobi menanam bunga ini menempuh pendidikan SMA di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Jember.
Mayoritas santri pesantren unggulan ini memang berasal dari alumni MAKN dari seluruh Indonesia, mulai dari MAKN, Kalimantan, Jember, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Aceh dan daerah-daerah lain. MAK adalah jurusan keagamaan di sebuah sekolah negeri di berbagai daerah. Pola pendidikan dan pengajaran di MAKN mirip dengan pola yang diterapkan dipesantren-pesantren unggulan, yaitu melatih disiplin yang tinggi, baik dalam beribadah maupun aktifitas rutin sehari-hari serta kewajiban menggunakan bahasa Arab- dan Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Maka wajar apabila mereka tidak kaget dengan berbagai syarat untuk menjadi santri pondok pesantren unggulan UII ini.
Selain berasal dari MAKN, santri pesantren yang dibiayai dari dana wakaf UII ini pada umumnya berasal dari pondok-pondok pesantren modern dari baerbagai penjuru nusantara. Ada beberapa santri yang berasal dari pondok salaf, umumnya mereka dari daerah kediri yang sambil nyantri di pondok salaf mereka juga belajar bahasa Inggris di “kampung Inggris” Pare, Kediri Jawa Timur.
***********
Setelah selesai menunaikan shalat Shubuh, berdzikir sekitar lima belas menit. Sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan public speaking, OSPP melalui Departemen bahasan dan seni membuat program kuliah tujuh menit (kultum). Kultum dilaksanakan enam kali seminggu. Pagi itu yang bertugas menjadi mutakallim atau pembicara adalah Fuad. Mahasiswa semester tuju Ilmu Hukum Fakultas Hukum ini nampaknya sudah siap.
Fuad maju ke hadapan jamaah shalat shubuh kemudian masuk ke sebuah ruang yang terletak di pojok kanan masjid. Ruangan ini merupakan tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan sarana ibadah di pesantren. Di dalamnya ada Al-Quran, sajadah, karpet, tape, peralatan pengeras suara, dan perlatan lainnya.
Tak lama kemudian santri yang berkulit sawo matang ini keluar, tangannya sudah memegang mikropon. Kultum memang dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, dengan tujuan santri lebih fokus mendengarkan. Selain itu juga supaya masyarakat disekitar pesantren juga dapat mendengar, mendapat ilmu dan mengambil hikmah daru apa yang disampaikan oleh mutakallim setiap habis subuh.
“assslamu ‘alaikum warah matullahi wabarakatuh” Dengan suara yang mantap dan gandem ia mengucapkan salam pembuka.
“ Sebelum saya lanjutkan kultum ini, saya akan mengutip ungkapan Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari yang beliau tuangkan di dalam sebuah karya yang cukup menumental, yaitu Kitab Syarh al-Hikam. Beliau menuliskan sebuah ungkapan singkat, namun kalau kita renungkan, maknanya cukup dalam” Fuad memulai pidatonya dengan suara yang agak datar.
“Ungkapan yang sangat mashur di kalangan sufi pencari kesucian cinta Tuhan itu berbunyi ‘Rubbama fataha laka bab al-tha’ati wama fataha laka bab al-qabul” Fuad melanjutkan ceramahnya. Selanjutnya ia mulai menjelaskan maksud dari ungkapan ini.
“Meskipun saya yakin bahwa teman-teman di sini pada dasarnya sudah faham dan mengerti makna dan interpretasi yang terkendung dalam mutiara hikmah ungkapan Sufi kenamaan abad pertengahan ini, namun saya ragu apakah teman-teman santri sudah mengamalkan dan memanfaatkan hikmahnya” lanjut Fuad.
“Secara literal, ungkapan di atas memang seolah biasa, namun, kalau kita mau menggali dan menghayatinya lebih dalam, semakin banyak mutiara hikmah yang akan kita temukan.” Terangnya.
“Ungkapan di atas kalau kita terjemahkan secara bebas ke dalam bahas Indonesia kurang lebih berarti demikian: Bisa jadi Tuhanmu membukakan pintu kataatan, pintu kepatuhan, pintu pengabdian dan pintu penghambaan untuk mu, namun bisa jadi juga Dia tidak membukakan pintu kemakbulan atau pintu penerimaan ketaatan dan penghambaan itu kepadamu”.
“Na’udzu billah, tsumma Na’udzubillah” lanjutnya.
“Ini artinya tidak semua amal ibdaha yang kita lakukan siang dan malam ini secara otomatis akan diterima di sisi-Nya, tergantung ketulusan niat ibadah dan kepatuhan tersebut. Kalau ibadah yang kita kerjakan tersebut benar-benar dilakukan atas dasar keikhlasan dan hanya mengharapkan ridhonya, maka besar kemungkinan amal tersebut akan diteri di sisi-Nya. Namun, apabila niat ibdah itu kita lakukan dengan kealpaan dan lupa kepada-Nya dan hanya mengingat surga dan neraka-Nya, diniati agar selamat dari neraka dan dengan maksud untuk mendapatkan surga, maka bisa jadi amal itu sia-sia. Apalagi kalau kita mengerjakannya hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban?, saya tidak tahu, di posisi mana amal ini berada.” Fuad menjelaskan sambil tangannya bergerak mengikuti irama kata yang ia ungkapkan dengan mikropon.
“Yang lebih parah lagi adalah, orang yang mengerjakan ibdah dan ketaatan kepada Allah hanya karena ingin dipuji ustadznya, karena tidak enak dengan teman, atau karena merasa sungkan, sebab sudah menapatkan tempat tinggal pemondokan dengan segala fasilitasnya serta mendapatkan beasiswa full study selama kuliah. Saya lebih tidk tahu akan posisi amal orang seperti ini.” Sementara Fuad terus menjelaskan ungkapan Ibnu ‘Athaillah, para santri dan Ustadz yang sejak awal mendengarkan dengan khusu’ mengangguk-anggukan kepala.
“Saya berharap kita semua yang berada di tempat yang Insyaallah diberkahi Allah ini menjalankan iabadah atas dasar niat yang ikhlas dan ketulusan hati hanya karena bermaksud ingin menggapai Ridha-Nya. Tidak lain dan tidak bukan kecuali karena bertujuan untuk ridhanya” lanjut Fuad
“Alangkah sia-sianya amal kita apabila dalam mengerjakannya tidak kita dasari niat yang tulus dan benar-benar karena dasar penghammbaan diri kepada Allah.”
“Karena pada dasarnya Ibadah yang disyariatkan Allah kepada manusia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebgai pengakuan akan ketuhanan dan sebagai tanda penghambaan diri kepada-Nya. Pun sebagai pengakuan atas kelemahan dan kekurangan serta ketidakberdayaanmanusia. Hal ini denganjelas diungkapkan oleh Abu Ishaq al-Syatiby dalam kitab yang menjadi rujukan para teoritisi hukum Islam, kitab al-Muwafaqat, yaitu, al-Ashlu fil ‘Ibadah bi al-nisbah ila al-mukallafi al-ta’abbud, duna iltifat ila ala-ma’ani; wa al-Ashlu fi al-‘adat al-iltifat ila al-ma’ani, yang artinya kurang lebih demikian: pada dasarnya dalam hal ibadah yang dikerjakan oleh orang mukallaf adalah murni sebagai penghambaan diri kepada Allah tanpa melihat hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya; sedangkan dalam hal kebiasaan, mu’amalah, pergaulan, itu harus melihat pada hikmahnya. ” dengan penuh semangat Fuad melanjutkan ceramahnya.
“Kiranya demikian saja yang dapat saya sampaikan, sedikit kalau kita dapat mengamalkannya, niscaya akan mendapabt hikmah. Semoga kita dapat mejalankan ibdah dengan penuh keikhlasan dan atas dasar penghambaan diri kepada Allah. Apabila ada kata atau ungkapan yang mengganggu perasaan jamah sekalian saya mohon maaf, wassalamu ‘alaikm warahmatullahi wabarakatuh.”
Setelah selesai jamaah dan kultum para santri langsung menuju ruang kuliah di gedung B. Gedung B berlokasi tepat di depan gedung A. tidak berbeda dengan gedung A, gedung B juga bertingkat dua. Lantai satu sebagai aula dan sekaligus ruang kuliah satu. Di samping aula ada kantor atau ruang bagian akademik ponodk pesantren. Sementara di lantai dua semuanya digunakan sebagai ruang kuliah, yaitu ruang kuliah dua, tiga dan empat. Di ruangan-ruangan inilah santri mendapatkan perkuliahan tambahan dari para dosen yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Perkuliahan pondok ini didesain untuk pengembangan kemampuan akademik santri khususnya yang terkait dengan ilmu wawasan keagamaan dan penelitian. Secara garis besar kurikulum yang diajarkan meliputi linguistik, Arab dan Inggris, ushul fikih dan fikih, hadis dan ilmu hadis, tafsir dan ilmu tafsir, dakwah, public speaking dan metode penelitian. Perkuliahan pesantren dilaksanakan setelah shubuh dan setelah isya’.
******
Sinar mentari dengan penuh kehangatan menyapa hamparan permadani bumi, menerobos calah-celah gedung dan pepohonan dan menyebar ke segala penjuru. Titik-titik embun perlahan sirna seiring dengan datangnya sinar mentari. Pagi itu cuaca tampak cerah. Geliat aktifitas masyarakat mulai tampak; kendaraan lalu berlalu-lalang di jalan-jalan kian detik kian ramai.
Yogyakarta, sebuah propinsi Istimewa yang terletak di wilayah selatan pulau jawa. Propinsi ini mendapat predikat “kota pelajar” seolah menunjukkan eksistensinya. Kendaraan yang didominasi sepeda motor memenuhi jalan-jalan dan menebarkan titik polusi yang mulai merubah kesegaran dankesjukan udara pagi itu. Para pengendara umumnya adalah pelajar yang meluncur menuju mata air ilmu, ke sekolah, kampus dan lembaga-lembaga pendidikan negeri dan swasta. Selain tiu kendaraan para pekerja dari berbagai profesi tak kalah banyak juga meluncur menuju mata air pencarian. Mengais rezeki.
Anak-anak paly group, Siswa-siswi SD dan sebagian Siswa SMP berangkat menuju sekolah masih diantar oleh orang tua atau pembantu. Ada orang tua yang memang sengaja pergi hanya mengantar, dan ada yang membawa anaknya ke sekolah sekalian berangkat ke tempat mereka bekerja. Lain halnya dengan anak-anak SMA dan mahasiswa. Mereka pada umumnya sudah mengemudikan kendaraan sendiri, tidak diantar oleh orang tua mereka. Memang ada yang menggunakan bis kota, tapi itu hnya sebagian kecil. Pada umumnya mereka pulang pergi sekolah mengendarai sepeda motor. Palagi mahasiswa, yang mayoritas berasal dari luar daerah, mayoritas pergi ke kampus menggunakan sepeda motor.
Aktifitas di peantren UII pun kian padat. Setelah selesai kuliah subuh, para santri mulai menjalankan aktifitasnya masing-masing. Ada sebagian santri yang membaca koran yang setiap pagi yang memang disediakan di meja ruang tamu sebagai “sarapan” dan penambah “gizi” intelektual, pengetahuan dan wawasan. Ada yang membaca majalah di teras depan. Ada pula yang belajar di dalam kamar. Sebagian santri masih mengaji dan mengahafal Al-Quran di masjid yang berdiri di tengah-tengah komplek pondok.
Sebagian santri yang lain ada yang berolah raga, main tenis meja di ruang olah raga lantai satu gedung yang berdiri gagah di lahan seluas kurang lebih dua hektar tersebut. Sebagian yang lain ada yang bermain sepak bola di lapangan yang terletak di depan masjid.
Ada santri yang bersih-bersih, menyapu dan ngepel sesuai dengan jawal harian yang telah ditetapkan. Ada juga santri yang membersihkan sepeda motor yang merupakan kendaran utama untuk pergi ke kampus fakultas masing-masing. Ada santri yang bersiap-siap untuk berangkat ke kampus untuk mengikuti perkuliahan fakultas.
Di tengah-tengah hiruk pikuk aktifitas seorang santri yang sedang antri mandi sambil membaca buku. Kamar mandi di Pesantren memang hanya berjumlah seperempat dari jumlah santri, jadi ketika pagi hari terkadng terjadi antrian, saat antri ini umumnya digunakan untuk membaca buku.
Dialah Faisal. Faisal Husen nama lengkapnya. Dia adalah santri sekaligus mahasiswa semester dua Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Faisal berasal dari Belitang, Sumatera Selatan.
Ketika sedang asyik membaca buku ia dihampiri oleh santri lain yang tak lain adalah Fuad yang sedang membawa peralatan mandi dan bersurban handuk. Nampaknya ia juga mau mandi. Sambil menepuk lengan Faisal Fuad menyapa:
”Hei, serius banget si Sal, baca buku apaan ?”
Sambil melihat ke arah Fuad dan tersenyum Faisal menjawab
”Oh.. mas Fuad, ni... lagi baca buku Kiat Sukses Kuliah dan Organisasi, untuk tambah wawasan dan motivasi”
“O.. iya Faisal, jangan lupa ya dengan tugas semalam, sudah terima suratnya kan dari Ari?” Fuad melanjutkan pembicaraannya
“Surat peminjaman Aula, maksudnya?” Faisal menyahut sambil meletakkan pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca.
“Iya... Hasil rapat eLKIM tadi malam kan kita sepakat untuk meminjam Aula Fakultas Tekni Sipil dan Perencanaan (FTSP) sebgai tempat untuk untuk diskusi bulanan, Aula FTSP kan cukup besar, sehingga dapat menampung banyak orang. Meskipun agak mendadak, semoga belum ada yang boking Aula, sehingga kita nggak susah-susah nyari tempat lain.”
Salah satu organisasi yang berada di lingkungan Pondok UII memang mempunyai program diskusi bulanan. Diskusi ini membahas seputar isu-sisu sosial keagamaan yang aktual. Organisasi ini adalah Lembaga Kajian Ilmu dan Pengembangan Masyarakat (eLKIM). Lembaga ini diarahkan untuk fokus pada bidang pengembangan keilmuan melalui diskusi dan karya tulis. Posisi eLKIM ini pada dasarnya sejajar dengan OSPP sebagai organisasi internal, namun eLKIM lebih banyak pada sisi internal, yaitu masyarakat yang lebih luas, melalui pengembangan keilmuan dan pengabdian. Lembaga ini membawahi beberapa divisi, yaitu divisi kajian dan penelitian yang menangani penelitian internal dan eksternal dan menyelenggarakan kajian rutin bulanan dan kajian tanggapan terhadap isu-isu sosial yang berkembang; divisi pengabdian kepada masyarakat dengan program pengembangan masyarakat dalam lingkup yang lebih praktis, seperti desa binaan; divisi penerbitan dan publikasi dengan program mempublikasikan karya-karya ilmiah santri melalui jurnal Pesantren “Ma’haduna” dan buletin mingguan “Al-Lu’lu” dan buletin triwulanan “Al-Tsurah”, selian itu juga mempublikasikan hasil diskusi dan kajian ilmiah lainnya.
Direktur lembaga ini adalah pengasuh pesantren, Ustdz Mahmud Muhammad Mamduh Ph.D. Sementara jabatan Sekretaris Jendral dipercayakan kepada Fuad Hasan yang mendapat predikat sebagai santri teladan. Meskipun pada dasarnya yang Namun demikian dalam praktiknya, pelaksanaan program-program sepenuhnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Sekjen.
“O iya mas.. aku mandi dulu, soalnya ada kuliah jam delapan.” Pamit Faisal sambil meletakkan buku di rak buku depan kamar mandi. Di depan kamar mandi ada rak yang berisi buku-buku bacaan khusus ketika menunggu antrean.
“O iya, maksih lo sebelumnya, nanti kalo’ ada jawaban dari FTSP segera kontak aku atau Farhan ya.., ni akau mau maen tenis meja dulu” Jawab Fuad sambi tersenyum.
“Tak kira sampean mau mandi mas“ tanya Faisal sambil mengmbil melangkah ke arah akamar mandi.
“Iya, tapi mau olah raga dulu bentar-bentar, kan lumayan biar dapat keringat” jawab Fuad, lalu ia melangkah menuju ruang tengah. Di lantai satu gedung pemondokan santri ini disediakan sebuah ruangan yang cukup luas sebagai tempat olah raga. Di sana tersedia dua lapangan tenis meja.
Di sana ada Syafrizal yang sedang berdiri di samping meja tenis. Nampaknya ia menjadi juri pertandingan single antara Robert dengan Luthvy, dua santri yang masih duduk di semester empat. Robert yang mempunyai nama lengkap Robitul Hasan kuliah di jurusan Ahwal al-syajhshiyah Fakultas Agama Islam (FAI). Ia berasal dari Mlangi, Sleman, Yogyakarta. Sementara Luthvy di jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Nama lengkapnya Luthvy Fuady. Ia bersal dari Jambi, tapi sudah lama tinggal di Magelang, di rumah neneknya.
“Masih lama nggak ni zal,“ tanya Fuad kepada Syafrizal.
“Nggak…, benter lagi kok, habis ini kita maen yok.. dari tadi aku nyari lawan maen yang seimbang, nggak dapet-dapet, untung kamu datang…” sahut Syafrizal sambil tersenyum.
“Ok.. aku juga pengen nglatih orang ini..” jawab Fuad juga sambil bercanda.
“Berapa ni skor?!”
“Sepuluh delapan belas untuk Luthvy, ya meskipun maennya monoton, nggak pernah nyemes…ni dia menang bukan karena pinter lho…” Canda Syafrizal sambil ketawa kecil. Santri dari Palembang ini memang pandai guyon, suka humor, periang, friendly, mudah bergaul dan sangat terbuka. Kalau dia berbicara hampir selalu ada unsur humor. Nama lengkapnya adalah Syafrizal Ali. ia satu angkatan dengan Fuad, hanya saja Syafrizal di Fakultas Psikologi. Meskipun tergolong kurang semangat mengikuti kegiatan pesantren, seperti jamaah dan kerja bakti bersih-bersih, tapi ia aktif berkarya tulis. Ia cukup cerdas, ini bisa dilihat dari cara dan gaya bicaranya dan IP komulatif di semester lima. IP komulatif Syafrizal 3.88. Ia aktif mengikuti organisasi di Fakultas Psikologi. Karena keaktifannya dab prestasi-prestasi dalam berbagai perlombaan karya tulis ilmiah, baik tingkat fakultas, universitas maupun Nasional ia menjadi mahasiswa teladan Fakultas Psikologi periode 2004/2005.
Beberapa menit kemudian permainan Robert dan Luthvy berakhir dengan kemenangan Luthvy. Giliran Fuad dan Syafrizal akan bermain. Kedua santri senior ini gemar berolah raga, keduanya merupakan jagoan tenis meja pesantren.
“Giana? Siap kalah?” ucap Syafrizal sambil tersenyum.
“Siaplah…., aku siap kalah sebagaimana siap menang” jawab Fuad.
“O.. iya Zal, pembicara untuk diskusi besok Rabu udah fix semua kan?”
“Beres.. ”.
“Mereka tidak perlu dijemputkan?”
“Ada satu pembicara yang minta dijemput, Pak Irwan”
“Gak papa, rumahnya kan dekat sini aja tho? Biar Farhan atau sapa nanti yang jemput, pake mobil pesantren.”
Pesantren memang mempunyai satu unit mobil Kijang Innova sebagai kendaraan operasional dan sekaligus sebagai mobil dinas pengasuh. Tapi karena pengasuh sudah mempunyai mobil sendiri, yaitu Honda CRV, mobil pesantren lebih banyak digunakan untuk kegiatan pesantren, khususnya kegiatan keluar untuk pengabdian masyarakat, seperti ke desa binaan, kunjungan pesantren dan kegiatan lain. Di pesantren Hanya ada beberapa santri yang lihai nyetir, Farhan, Edy, Jondra dan Rido.
eLKIM mengundang tiga pembicara dalam diskusi yang bertema “Pondok Pesantren dan Isu terorisme: Menepis Stigma Negatif terhadap Pondok Pesantren”. Sebagai pebicara, panitia disukusi yang diketuai oleh Syafrizal mengundang tiga pembicara sekaligus yang akan mebahas pondok pesantren dan isu terorisme dari bebagai aspek. Dr. Irwan R. Anas dari Pergerakan Jihad Islam Indonesia (PJII) akan menyoroti isu terorisme dari perspektif pergerakan umat Islam. Irjen Pol. Murdi Pramono, SH mewakili pihak keamannan negara. Sementara dari kalangan pesantren adalah Ustadz Dr. Ali Murtadho dari Pondok Pesantren al-Muslim, Solo. Pondok al-Muslim sedang menjadi sorotan karena dikaitkan dengan beberapa tindak kekerasan dan teror yang beberapa tahun ini terjadi. Bahkan pondok yang dianggap beraliran keras dan sampai ada yang mengatakan fundamental tersebut selalu dimata-matai oleh pihak keamanan.
“Ayo pemanasan dulu” sambung Fuad
“Ayo…” sahut Syafrizal”.
Setelah selesai main tenis meja dan istirahat sebentar, lalu Fuad mandi. Setelah itu ia bersiap-siap berangkat ke kampus untuk kuliah. Meskipun sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata), Ia masih mengambil beberapa mata kuliah. Ia mengikuti KKN program reguler agar bisa sambil mengambil teori. KKN reguler adalah KKN di daerah pedalaman Propinsi Yogyakarta, biasanya kegiatan dilaksanakan pagi, sore atau malam hari, tergantung program yang dilaksanakan oleh mahasiswa yang bersangkutan.
“Nunggu sapa luth?” Tanya Fuad kepad Luthvy yang sedang duduk di beranda depan.
“Ni lagi nyari barengan ke kampus, sampean mau kemana mas?”
“Ke kampus. Mau bareng apa? Ayok, kalo mau bareng, kamu nggak keburu kan, soalnya aku mau mampir bentar ke kos teman ama ngisi bensin di pom”
“Nggak, aku kuliah agak siang kok, ni siap-siap dari tadi karena nyari tebengan”
“o ya udah... kalo gitu”
Karena Lokasi pesantren yang jauh dari jalur bis, sebagian besar santri menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan untuk ke kampus. Fuad biasa menggunakan motor Supra X yang ia beli sendiri dari hasil menabung honor menulis atau uang hadiah dari berbagai kejuaraan yang ia raih dalam lomba karya ilmiah atau debat bahasa asing. Dari berbagai hadiah ini ia bisa membeli keperluan kuliah. Bahkan dari uang penghargaan dan pembinaan Fuad juga bisa membeli satu buah laptop.
Pada dasarnya ia tergolong anak orang yang mampu, namun karena mempunyai jiwa yang mandiri, sejak smester empat ia mulai berani untuk meminta orang tua agar tidak mengirimkan uang bulanan. Dengan tidakadanya uang kiriman dari rumah ia merasa tertantang berkreatifitas dan berkarya agar mendapatkan uang makan, dan bila lebih ditabung untuk membeli keperluan kuliah. Baginya dengan tidak ada kiriman maka ada tuntutan untuk lebih aktif. Mengandalakan kiriman dari orang tua, baginya akan memanjakan diri, akbiatnya ia kurang kreatif, dan menimbulkan rasa malas untukberkarya dan berkreasi karena berfikir “saya tidak ngapa-nagapa toh akan mendapatkan uang tiap bulan dari rumah”. Hal ini berbeda dengan orang yang tidak menggantungkan uang dari rumah, akan tetapi dari hasil karyanya. Ini bukan berati berkarya hanya untuk mendapatkan materi, akan tetapi setidaknya materi itu akan lebih memotifasi dirinya untuk berkarya. Materi baginya hanyalah implikasi dari karyanya. Dengan banyak berkarya maka ia akan lebih merasa mandiri tanpa mengandalkan siapapun, termasuk orang tua. Baginya mandiri bukan masalah dari orang punya atau tidak punya, mandiri adalah tergantung kemauan, kebiasaan dan keberanian yang membutuhkan latihan. Orang yang secara materi lebih dibanding yang lain, belum tentu akan sanggup mandiri tanpa membiasakan diri. Sebaliknya tidak jarang orang yang kuranng berada akan lebih berfikir mandiri, karena tuntutan.
Selain uang dari hadiah atau penghargaan karya ilmiah, ia mempunyai penghasilan yang agak lumayan dari karya kaligrafinya yang biasa dibeli oleh para dosen atau karyawan, atau pesanan dari teman-teman kuliahnya atau masyarakat yang telah mengenal kara kaligrafinya.
Fuad memang mempunyai ktrampilan kaligrafi. Ia biasa membuat kaligrafi dari kanvas. Bakatnya tersalurkan melalu sanggar seni pesantren di bawah program OSPP. Di ruang sanggar seni inilah biasanya Fuad menuangkan imajinasi estetisnya ke lembaran-lembaran kanvas.
*****
Bagi mereka yang tidak mempunyai kendaraan biasanya nebeng teman se Fakultas atau yang lokasi kampusnya satu arah. Kampus UII memang terpencar di beberapa lokasi. Fakultas Hukum berlokasi di Jalan Taman Siswa, Fakultas Ekonomi di Ringroad Utara, sementara Fakultas Psikologi, Kedokteran, MIPA, TI, TSP dan IAI berlokasi di Jalan Kali Urang.
Jam menunjukkan pukul 08.30, namun sinar mentari sudah terasa panas menyengat. Ditambah dengan asap kendaraan yang memadati jalanan yang menjadikan udara kota pelajar ini semakin pengap. Apalagi asap bus kota yang usianya sudah udzur, hitam menggumpal dan mengganggu pengendara yang berada di belakangnya.
Di bawah terik mentari sepeda motor yang ditumpangi Fuad dan danLuthvy meluncur menyusuri Jalan Adisutipto dari timur ke arah pertigaan Universita Islam Negeri Yogyakarta. Fuad membelokkan motor kesayangannya itu ke kiri menyusuri Jalan Timoho. Setelah sampai di perempatan Timoho dan jalan Melati Fuad berbelok ke arah kanan sampai di perempatan komlek asrama Brimob. Dan akhirnya sampai di lokasi yang ia tuju.
Rupanya ia mau menemui temannya yang menjadi takmir di Masjid Asrama Brimob Timoho. Sesampainya di depan masjid Fuad memarkir kendarannya di tempat yangtelah disediakan.
”Aku nunggu di sini aja ya mas?” sambil membuka helm standarnya Luthvy bertanya.
”Di sini gimana? Ayo ikut masuk..! niatilah sillaturrahmi, kamu dah tau kan sillaturrahmi akan melapangkan jalan rezeki danmenambah berkah umur?”
”Yo... kalo gitu, aku ikut masuk...”
Lalu keduanya menuju samping utara masjid.
”Assalamu ’Alaikum... tok,tok, tok,tok” Fuad mengucapkan salam sambil mengetuk pintu ruangan yang berada di sebelah pojok masjid.
”Wa ’Alaikum salam” suara jawaban dari dalam. Tak lama kemudian muncul seorang pemuda.
”Masuk, masuk, tak kira masih lama, soale tadi kamu sms kan belum ada setengah jam” pemuda itu melebarkan celah pintu yang sebelumnya terbuka beberapa senti. Kemudian Fuad masuk diikuti Luthvy dari belakang.
”Gimana kabarmu Gus, sehat tho?” Fuad membuka pembicaraan dengan teman unit KKN-nya yang bernama lengkap Agus Nuryanto.
”Bek, sehat sentosa, kamu sendir gimana Ad?
”Yo Alhamdulillah, sehat wal ’afiat. Ruanganmu nyaman Gus, sejuk, nyaman dan terasa dingin, padahal nggak ada AC lho”
”Yo iyolah, namanya juga satu bangunan dengan rumah Allah, meskipun nggak ada AC, tapi minimal lima kali sehari di bangunan ini dilaksanakan shalat jama’ah yang di dalamnya banyak menyebut nama Allah, digunakan untuk membaca Al-Quran dan menjadi majelis ta’lim; itulah yang membuat suasana di sini sejuk dan nyaman” sahut pemuda yang kuliah di Fakultas ekonomi ini.
”Ooo, yo wajar, memang kalau suatu tempat yang di sana sering disebut nama Alllah atau digunakan untuk berdzikir, maka akan terasa nyaman dan menyenangkan, terasa menyenangkan kalau di tempati, meskipun tempat itu sederhana dan tidak ber-AC sekalipun. Sebaliknya, banyak tempat mewah yang lengkap dengan fasilitas, ada AC dan ada kipas, namun kalau ditempati terasa gerah, panas dan membosankan,karena di dalamnya tidak pernah terlantun nama atau ayat-ayat Allah.”
”Stuju Ad..., makanya aku betah tinggal di sini, bukan karena di sini gratis, tapi... ya karena itu tadi. Dan alasan yang paling mendasar kenapa aku tinggal di masjid menjadi seorang mu’ammir atau takmir, karena dengan setatus sebagai takmir setidaknya bisa menjadi kontrol bagi diriku, kontrol bagi pergaulanku, kontrol bagi aktivitasku, kontrol bagi belajarku dan kontrol bagi ibadahku. Terus terang kalau tinggal di luar aku tidak kuat dengan godaan pergaulan yang agaknya semakin hari semakin bebas, tidak ada batas antara cewek dan cowok, pulang tidak ada batasan, waktu shalat tidak ada yang mengingatkan, bangun pagi susah, karena merasa bebas dari tanggung jawab. Tapi dengan adanya tanggung jawab menjadi takmir maka minimal atau setidaknya waktu shalat ada yang mengingatkan, atau bahkan saya bisa mengingatkan orang lain, karena menjadi muadzin.”
”oo. Iya Gus, hampir lupa, kenalkan, ini temanku Luthvy”
”Luthvy Fuady” luthvy menyebutkan nama lengkapnya sambil mengulurkan tangannya, bersalaman dengan Agus.
”Agus Nuryanto” Agus menyambut uluran tangan Luthvy. Kedua nya berjabat tangan beberapa saat.
”Kuliah di UII juga ya?” tanya Agus.
”Iya mas”
”Fakultas Hukum juga?”
”Iya, kalau mas Agus, Fakultas apa?” luthvy balik bertanya.
”Fakultas Ekonomi, kalau semesternya sama dengan Fuad”
”Luthvy semester berapa?”
”Semester empat mas” jawab Fuad.
”O.. ya gus.. mau jadi buat kaligrafi?” Fuad memotong obrolan perkanalan antara Luthvy dan Agus.
”Yo bener tho... makanya akau panggil kamu ke sini, supaya nglihat sendiri medianya, tembok yang mau ditulisi.” jelas Agus.
”O.. di tembok tho..., aku kira di triplek” sahut Fuad. Agus memang sering mendapat order membuat kaligrafi di masjid-masjid, mushalla dan majelsi taklim. Ada yang ditulis di tembok langsung dan ada yang di triplek kemudian dibingkai dan kemudian pasang di tembok. Ada pula yang ditulis di kanvas. Terakhir Fuad membuat kaligrafi di tembok masjid kampung tempat ia KKN bersama Agus. Mungkin karena melihat keindahan ayat-ayat Al-Quaran yang ditorehkan dengan kuas dan dihiasi dengan dekorasi di tembok masjid kampung tadi membuat Agus tertarik untuk membuatnya di Masjid komplek Brimob di mana ia menjadi takmirnya.
Masalah harga, Fuad mematok harga yang disesuaikan dengan tingkat kesulitan proses pembuatannya. Untuk di tembok misalnya, ia menetapkan harga
Setelah mampir ke kos teman dan pompa bensin, sekitar pukul 09.45 Fuad
TOBE CONTINEUD
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar