Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 20 Februari 2012

PUASA: ANTARA IBADAH DAN HIKMAH


Oleh: Imam Mustofa
(Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)

Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain dan tidak bukan adalah agar mereka beribadah kepada-Nya (al-Dzariyat: 56). Ibadah yang dipeintahkan Alllah, temasuk puasa adalah sebagai pengakuan atas ketuhanan Allah SWT dan sebagai penghambaan diri kepada-Nya.
Diakui atau tidak, kita sebagai hamba, sering terjebak dalam niat ibadah. Tidak jarang ibadah yang dilaksanakan demi keselamatan dari neraka dan supaya mendapatkan surga. Bahkan ibadah puasa yang dilakasanakan dilandaskan niat supaya sehat, supaya peka, supaya fikiran terang, hati tenang dan sebagainya. Tragisnya lagi, ada yang beribadah demi popularitas bahkan demi elektabilitas. Padahal itu semua bukanlah substansi dan tujuan ibadah.
Tidak jarang melaksanakn ibadah dengan landasan what will I get. Paradigma apa yang akan saya dapatkan dengan ibadah tersebut. Paradigma ini akan menjerumuskan ibadah pada logika bisnis. Logika ini adalah logika yang bertolak belakang dengan substansi ibadah sebagai penghambaan, ibadah yang berlandaskan pada paradigma apa yang sudah dipersembahkan kepada Tuhan.
Abu Ishaq As-Syatibi, seorang ulama ushul fiqih dari kalangan Malikiyah dalam magnum opus-nya "al-muwafaqat" menyatakan: Al-ashlu fil ibadati binisbati ilal mukallafi at-ta'abbud dunal iltifat ila al-ma'ani, wal ashlu fil mu'amalat al-iltifat ilal-ma'ani. Pada prinsipnya, ibadah yang dilakukan oleh seorang mukallaf (cakap hukum) adalah sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah, tanpa harus melihat hikmahnya. Sementara dalam hal mu'amalah adalah dalam rangka untuk menemukan hikmahnya.
Dari ungkapan as-Syatibi di atas, maka dapat diambil pelajaran bahwa semua ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba harus benar-benar diniatkan untuk menghambakan diri kepada Allah, sebagai pengakuan atas kehambaan dirinya dan ketuhanan Allah. Setiap ibadah mahdhah (yang sifatnya relasi vertikal dengan Allah) harus dilandasi niat ini dan jangan sampai terkontaminasi dengan niat-niat lain yang bisa jadi malah akan merusak substansi ibadah tersebut.
Puasa sebagai salah satu bentuk ibadah mahdhah harus benar-benar belandaskan pada paradigma di atas. Jangan sampai ibadah puasa diniatkan hanya untuk mencari hikmahnya, seperti supaya sehat, supaya peka, supaya jernih pikiran, melatih kejujuran dan sebagainya. Karena bila landasan niat ibadah adalah hikmah, maka akan menutupi atau bahkan mereduksi aspeknya sebagai ibadah, sebagai penghambaan diri.
Menjadi lebih sehat, lebih peka, lebih jujur atau tidak, puasa tetap wajib dilaksanakan, karena memang hikmah-hikmah tersebut bukan tujuan puasa. karena puasa memang hanya karena Allah. Paradigma ibadah yang hanya berorientasi pada hikmah maka secara tidak langsung meniatkan ibadah untuk sesuatu yang selain Allah. Sementara sesuatu selain Allah adalah makhluk.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka dapat dipahami mengapa dalam hal ibadah selalu harus diiringi klausul "karena Allah", (lillahi ta'ala) dengan niat ikhlas, tiada maksud dan tujuan, tanpa tendensi dan pretensi kecuali untuk menggapai ridha dan rahmat Allah. Ikhlas merupakan ruh dari semua amalan.
Paradigma di atas bukan berarti bermaksud untuk menutupi atau menghilangkan aspek hikam dalam ibadah puasa. Hanya saja sebagai acuan berfikir dan landasan dalam niat ibadah, bahwa semua ibadah harus benar-benar dilakukan karena Allah swt.
Hikmah dalam ibadah, termasuk puasa bukanlah tujuan, ia adalah sebagai konsekuensi logis dari sebuah pelaksanaan ibadah. Bukan hanya itu, bahkan pahala, imbalan surga adalah sebagai suatu konsekuensi dari ibadah, dan bukan sebagai tujuan.
Berbeda halnya dalam kaitannya dengan mu'amalah. Berangkat dari konsep as-syatibi di atas, maka muamalah lebih pada dalam konteks untuk menjalin keharmonisan hubungan secara horizontal. Mu'amalah seperti berinteraksi, besosialisasi, gotong royong dan sebagainya lebih pada orientasi hikmah daripada sebagai penghambaan diri.
Konsep as-Syatibi di atas sangat penting dipahami, agar dalam beribadah puasa seorang hamba tidak terjebak pada kepentingan pragmatis, supaya substansi ibadah tidak hilang. Ibadah tidak dengan logika kalkulatif-kuantitatif, akan tetapi berpijak pada logika kualitatif yang lebih berpijak pada kualitas puasa yang dilaksanakan, bukan kuantitas apa yang akan didapatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar