Senin, 20 Februari 2012
ISLAM LIBERAL DAN TERORISME
Oleh: Imam Mustofa
(Kader Kultural NU Lampung)
(Kader Kultural NU Lampung)
Paket bom yang ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla beberapa hari yang lalu, kalau memang benar karena dia sebagai tokoh Islam liberal, maka dapat diartikan sebagai respon keras terhadap kalangan Islam liberal. Ulil adalah tokoh skularisme dan pluralisme, ia juga salah seorang founding fathers Jaringan Islam Liberal (JIL), yang mengusung semboyan, "Menuju Islam yang Membebaskan".
Kaum Islam liberal tidak hanya membawa pembaruan pemikiran Islam di bidang aqidah dan politik, mereka juga mengusung ide-ide tentang hukum Islam. Islam liberal telah menghadirkan cara baru dalam beragama di tengah masyarakat yang pluralistik, semakin terbuka dan modern. Kalangan liberal menilai bahwa Islam popular yang diusung oleh JIL adalah Islam yang ramah serta toleran. Oleh sebab itu, wajar jika kelompok-kelompok yang merasa sebagai muslim kaffah paling taat beragama, sangat marah dengan gagasan yang disampaikan oleh JIL.
Kalangan Islam liberal mempunyai pemikiran progresif, moderat dan terbuka dengan mengusung dan mengembangakan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, skularisme, inklusivisme, dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas mungkin. Pemikran dan paham semacam ini oleh sebagian umat Islam dianggap telah keluar dari ajaran Islam, bahkan ada yang menganggapnya sebagai ajaran sesat dan penyebarnya halal dibunuh. Sementara menurut pengusungnya, gagasan tersebut merupakan sebagai upaya untuk melakukan pencerahan dan kontekstualisasi Islam agar mampu menjawab tantangan modernitas, sehingga Islam memang benar-benar sholihun likulli al-zamaan wa al-makaan (kontekstual).
Pada dasarnya pemikiran dan gagasan yang disampaikan JIL bukanlah hal baru. Apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU. Menurut Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di Indonesia antara lain: Nurcholis Majid dengan gagasan neo-modernisme dan “sekularisasi Islam”, Abdurrahman Wahid dengan paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib. (Greg Barton, 1999: 27-42).
Kalau mau ditarik lebih jauh, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini.
Pengiriman paket bom buku merupakan bentuk intimidasi dan teror terhadap orang yang dikirimi. Terorisme memang mempunyai berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi dan budaya yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas.
Sementara menurut Whittaker (Whittaker 2000: 91-124), terorisme dapat muncul karena ajaran agama atau motivasi agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme. Namun demikian, aksi terorisme yang marak akhir-akhir ini sebenarnya bukan dilatarbelakangi oleh ajaran agama. Aksi kekerasan tersebut muncul lebih mengarah pada reaksi oleh kelompok yang frustasi dan kecewa terhadap ketidakadilan global dan tindakan negara-negara Barat. Lebih luas, rasa kebencian juga ditujukan kepada para pendukung dan pengembang gagasan dan pemikiran serta paham yang dinilai lahir dari rahim pemikiran Barat.
Berdasarkan teori Loudewijk F. Paulus di atas, maka teror berupa paket bom yang ditujukan kepada Ulil lebih pada motif budaya. Pemikiran dan gagasan Ulil yang dianggap terlalu berani dan keluar dari frame Islam ditanggapi secara kurang tepat. Bagaimana sebuah pemikiran yang merupakan buah dan respon terhadap kebudayaan tidak ditanggapi dengan pemikiran pula, akan tetapi ditanggapi dengan teror bom. Seharusnya, kalau memang menganggap interpretasi, faham, pemikiran dan gagasan yang dipegangi JIL adalah salah, mengapa tidak melakukan konter balik pemikiran (counter tought)? Bukankah merespon sebuah wacana dan perbedaan interpretasi dengan aksi kekerasan merupakan tindakan orang-orang yang gugup terhadap pluralitas dan budaya (shock culture).
Pemikiran dan gagasan kalangan liberal memang kurang membumi dan terkesan elitis, sehingga tidak jarang terjadi penolakan bahkan resistensi yang berlebihan di kalangan masyarakat. Hal ini perlu dipahami, karena gagasan tersebut memang hasil "impor" dari metode dan pemikiran Barat yang dicoba, atau bahkan dipaksakan masuk ke dalam lingkar kebudayaan Islam Indonesia. Pengaruh para pemikir Barat ini merasuk terutama melalui para intelektual muda Islam yang belajar ke perguruan tinggi di Barat. Selain itu juga melalui karya-karya liberal, terutama dua buku yang mengupas secara khusus keterkaitan Islam dengan liberalisme. Buku yang populer antara lain adalah Liberal Islam: A Sourcbook, hasil suntingan Charles Kurzman, dan karya Leonard Binder berjudul Islamic Liberalis: A Critique of Development Ideologies.
Satu hal yang harus dipahami bersama bahwa bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan, oleh karena itu perlu sikap legowo mau menerima, mengakui dan menghargai perbedaan penafsiran teks agama tanpa harus menuntut persamaan, apalagi dengan bahasa kekerasan. Siapa pun orangnya, apa pun motifnya, yang jelas akasi kekerasan bukanlah perintah Islam. Kebudayaan yang Islami tidak bisa dibangun di muka bumi ini dengan menggunakan bahasa kekerasan dan ditopang dengan pilar-pilar kepicikan dan kebrutalan. Satu mata pena akan lebih berharga untuk membangun sebuah peradaban daripada seribu mata pedang.
Kaum Islam liberal tidak hanya membawa pembaruan pemikiran Islam di bidang aqidah dan politik, mereka juga mengusung ide-ide tentang hukum Islam. Islam liberal telah menghadirkan cara baru dalam beragama di tengah masyarakat yang pluralistik, semakin terbuka dan modern. Kalangan liberal menilai bahwa Islam popular yang diusung oleh JIL adalah Islam yang ramah serta toleran. Oleh sebab itu, wajar jika kelompok-kelompok yang merasa sebagai muslim kaffah paling taat beragama, sangat marah dengan gagasan yang disampaikan oleh JIL.
Kalangan Islam liberal mempunyai pemikiran progresif, moderat dan terbuka dengan mengusung dan mengembangakan wacana demokrasi, penegakan HAM, pluralisme, skularisme, inklusivisme, dan humanisme dengan membuka pintu ijtihad seluas mungkin. Pemikran dan paham semacam ini oleh sebagian umat Islam dianggap telah keluar dari ajaran Islam, bahkan ada yang menganggapnya sebagai ajaran sesat dan penyebarnya halal dibunuh. Sementara menurut pengusungnya, gagasan tersebut merupakan sebagai upaya untuk melakukan pencerahan dan kontekstualisasi Islam agar mampu menjawab tantangan modernitas, sehingga Islam memang benar-benar sholihun likulli al-zamaan wa al-makaan (kontekstual).
Pada dasarnya pemikiran dan gagasan yang disampaikan JIL bukanlah hal baru. Apa yang mereka kembangkan adalah hasil dari gagasan dan pemikiran mendiang Gus Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU. Menurut Greg Barton, para pemikir yang menjadi pendukung Islam liberal di Indonesia antara lain: Nurcholis Majid dengan gagasan neo-modernisme dan “sekularisasi Islam”, Abdurrahman Wahid dengan paham pribumisasi Islam, Djohan Effendy, dan Ahmad Wahib. (Greg Barton, 1999: 27-42).
Kalau mau ditarik lebih jauh, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini.
Pengiriman paket bom buku merupakan bentuk intimidasi dan teror terhadap orang yang dikirimi. Terorisme memang mempunyai berbagai motif. Menurut Loudewijk F. Paulus terorisme mempunyai berbagai motif yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi dan budaya yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas.
Sementara menurut Whittaker (Whittaker 2000: 91-124), terorisme dapat muncul karena ajaran agama atau motivasi agama. Sentimen agama sering menjadi salah satu penyebab radikalisme dan terorisme. Namun demikian, aksi terorisme yang marak akhir-akhir ini sebenarnya bukan dilatarbelakangi oleh ajaran agama. Aksi kekerasan tersebut muncul lebih mengarah pada reaksi oleh kelompok yang frustasi dan kecewa terhadap ketidakadilan global dan tindakan negara-negara Barat. Lebih luas, rasa kebencian juga ditujukan kepada para pendukung dan pengembang gagasan dan pemikiran serta paham yang dinilai lahir dari rahim pemikiran Barat.
Berdasarkan teori Loudewijk F. Paulus di atas, maka teror berupa paket bom yang ditujukan kepada Ulil lebih pada motif budaya. Pemikiran dan gagasan Ulil yang dianggap terlalu berani dan keluar dari frame Islam ditanggapi secara kurang tepat. Bagaimana sebuah pemikiran yang merupakan buah dan respon terhadap kebudayaan tidak ditanggapi dengan pemikiran pula, akan tetapi ditanggapi dengan teror bom. Seharusnya, kalau memang menganggap interpretasi, faham, pemikiran dan gagasan yang dipegangi JIL adalah salah, mengapa tidak melakukan konter balik pemikiran (counter tought)? Bukankah merespon sebuah wacana dan perbedaan interpretasi dengan aksi kekerasan merupakan tindakan orang-orang yang gugup terhadap pluralitas dan budaya (shock culture).
Pemikiran dan gagasan kalangan liberal memang kurang membumi dan terkesan elitis, sehingga tidak jarang terjadi penolakan bahkan resistensi yang berlebihan di kalangan masyarakat. Hal ini perlu dipahami, karena gagasan tersebut memang hasil "impor" dari metode dan pemikiran Barat yang dicoba, atau bahkan dipaksakan masuk ke dalam lingkar kebudayaan Islam Indonesia. Pengaruh para pemikir Barat ini merasuk terutama melalui para intelektual muda Islam yang belajar ke perguruan tinggi di Barat. Selain itu juga melalui karya-karya liberal, terutama dua buku yang mengupas secara khusus keterkaitan Islam dengan liberalisme. Buku yang populer antara lain adalah Liberal Islam: A Sourcbook, hasil suntingan Charles Kurzman, dan karya Leonard Binder berjudul Islamic Liberalis: A Critique of Development Ideologies.
Satu hal yang harus dipahami bersama bahwa bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan, oleh karena itu perlu sikap legowo mau menerima, mengakui dan menghargai perbedaan penafsiran teks agama tanpa harus menuntut persamaan, apalagi dengan bahasa kekerasan. Siapa pun orangnya, apa pun motifnya, yang jelas akasi kekerasan bukanlah perintah Islam. Kebudayaan yang Islami tidak bisa dibangun di muka bumi ini dengan menggunakan bahasa kekerasan dan ditopang dengan pilar-pilar kepicikan dan kebrutalan. Satu mata pena akan lebih berharga untuk membangun sebuah peradaban daripada seribu mata pedang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar