Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 20 Februari 2012

DERADIKALISASI AGAMA

Oleh: Imam Mustofa
(Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)

Terorisme di era modern dipicu oleh berbagai macam faktor, seperti faktor politik, ekonomi, ideologi, dan akibat kolonialisme modern dan globalisasi. Meskipun dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, namun, berdasarkan laporan Patterns of Global Terrorism 2000 yang dikeluarkan Pemerintah AS, gerakan terorisme yang bermotif agama dan ideologilah yang paling banyak terjadi.
Neil J. Smelser (2007: 12) menyatakan bahwa berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, politik, agama dan lain-lain memang dapat menimbuhkan gerakan terorganisir yang terlibat dalam terorisme, namun kondisi tersebut tidak lantas menjamin dilakukannya kekerasan. Untuk dapat terjadi kekerasan biasanya harus digabungkan dengan faktor-faktor lain, seperti doktrin ideologi yang ditanamkan oleh pemimpin karismatik, pengembangan sistem rekruitmen yang efektif, dan lain-lain. Terorisme bisa muncul akibat doktrin dan pemahaman agama secara radikal, meskipun pada dasarnya semua agama membawa misi kebaikan.

Urgensi Deradikalisasi Agama
Agama (Islam) sebagai pembawa misi ketuhanan berusaha menciptakan mashlahah, perdamaian, persatuan, keadilan dan menumpas semua bentuk kezhaliman termasuk teror. Terlebih teror yang dilakukan membawa nama agama, mengatasnamakan agama, mengatasnamakan jihad, membela Tuhan dan embel-embel agama lainnya. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin melindungi umat manusia secara mutlak, tanpa melihat latar belakang ideologi, etnis dan bangsa.
Ajaran-ajaran agama yang membawa pesan perdamaian, kerukunan, persatuan, keadilan memberikan dan menjamin HAM dapat tereduksi oleh pemahaman fanatis dan picik terhadap teks-teks agama yang ahistoris. Pemahaman yang picik malah akan mereduksi tujuan, visi dan misi Islam sebagai agama cinta dan perdamaian. Egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, egoisme untuk mendapatkan surga yang diyakini dan direalisasikan dengan tindakan destruktif dapat mengorbankan perdamaian, mencabik rajutan persatuan dan kerukunan umat.
Terlepas dari indahnya ajaran agama, memang harus diakui, bahwa salah satu faktor terorisme adalah karena motivasi agama, yaitu karena proses radikalisasi agama dan interpretasi serta pemahaman keagamaan yang kurang tepat dan keras sehingga melahirkan muslim fundamentalis. Teks-teks agama yang ditafsirkan secara atomistik, parsial-monolitik (monolithic-partial) akan menimbulkan pandangan yang sempit dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah kearah aksi teror. Alasan ini menggugah pemerintah untuk menggunakan pendekatan agama, yaitu dengan melakukan deradikalisasi agama.
Deradikalisasi agama ini ditempuh karena penanggulangan terorisme dengan cara represif, proses hukum, penangkapan, penyidangan dan eksekusi dirasa kurang efektif, karena cara represif kurang menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Cara represif dengan pendekatan militeristik seperti penangkapan dan bahkan penembakan pelaku teror merupakan langkah memotong aksi teror dari tengah.

Problem Deradikalisasi Agama
Meskipun deradikalisasi agama menjadi suatu keniscayaan dalam rangka penanggulangan terorisme dan memutus mata rantasi radikalisme, namun demikian, ada masalah yang perlu diperhatikan oleh para penentu dan pelaksana kebijakan terkait deradikalisasi agama. Ada beberapa problem yang dihadapi dalam proses deradikalisasi agama.
Problem yang krusial antara lain adalah orang-orang yang telah menerima doktrin dan proses radikalisasi agama akan sulit menerima deradikalisasi agama. Hal ini, karena pemikiran dan hati mereka telah terisi doktrin-doktrin agama secara radikal, sehingga tidak ada lagi "ruang kosong" (zero zone) dalam pikiran dan hatinya untuk menerima pemahaman agama yang tidak sesuai dengan apa yang selama ini mereka terima dan yakini. Berbeda halnya apabila deradikalisasi agama dilakukan oleh orang yang sebelumnya tidak mengalami doktrin-doktrin radikal agama.
Sebagaimana mafhum, bahwa agama terdiri dari dua unsur, yaitu unsur lahiriyah, body dan unsur soul bathiniyah yang berupa keyakinan dan nilai-nilai moral etk agama. Agama pada tataran soul akan susah untuk mengalami pergeseran, karena ia berupa kepercayaan dan keyakinan yang telah terpatri di dalam hati. Keyakian akan sebuah kebenaran, pahala, keselamatan, kebathilan, dosa, kesesatan dan sebagainya. Ketika telah tertanam suatu keyakinan akan sebuah kebenaran yang diperoleh dari interpretasi teks dengan kaca mata eksklusif, pendekatan radikal, dengan keyakinan absolutisme kebenaran intepretasi, maka akan sulit untuk menggeser atau bahkan merelokasi keyakinan tersebut.
Proses deradikalisasi agama terhadap orang-orang yang sudah menerima doktrin sangat berbeda dengan proses radikalisasi. Radikalisasi agama relatif lebih mudah dan diterima karena dilakukan terhadap orang minim penguasaan agama dan basic ilmu agamanya kurang mendalam atau bahkan tidak punya sama sekali. Oleh karena itu mereka cukup mudah untuk menerima ajaran agama yang mereka yakini tepat dan sesuai dengan praktik Rasulullah saat itu. Karena ada "ruang kosong" dalam pemikiran dan hati mereka.
Terlebih deradikaliasi agama dilakukan secara sporadis dan hanya formalitas dengan paradigma proyek penanggulangan terorisme tidak akan efektif melawan radikalisasi agama yang dilakukan secara gradual, intensif terencana dan disiplin. Terlebih radikalisasi agama dilakukan dengan tulus dan semangat keyakinan bahwa hal itu dilakukan demi menegakkan kalimat Tuhan serta demi tegaknya syariat Islam yang akan dibalas dengan surga.
Walaupun deradikalisasi agama dilakukan terhadap orang yang telah mengalami radikalisasi agama, hal itu tidak akan bisa menghilangkan bekas dan dampak radikalisasi agama secara bersih. Bisa jadi hanya bersifat sementara. Hal ini dapat dilihat dari fakta adanya pelaku teror yang merupakan alumnus deradikalisasi agama, yaitu Abdullah Sonata dan Abu Tholut yang melakukan kasi terorisme melalui Jaringan Anshorut Tauhid (JAT).
Deradikalisasi agama dilakukan pemerintah dengan menggandeng ormas-ormas keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya yang mempunyai pemikiran keagamaan yang moderat. Masalahnya, apakah pemikiran keagamaan ormas-ormas moderat tersebut dapat diterima oleh kalangan lain yang memiliki frame pemikiran keagamaan yang berbeda? Karena umumnya, muslim fundamentalis yang telah mengalami radikalisasi agama bersikap sangat eksklusif, tertutup dari orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Problem-problem deradikalisasi di atas hendaknya menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran para pemegang kewenangan dalam proyek deradikalisasi agama dan penanggulangan terorisme. Dengan melihat problem di atas, bukan berarti deradikalisasi agama tidak perlu, namun demikian perlu strategi yang tepat, konsep yang jelas, agar proses deradikalisasi agama berjalan efektif dan berhasil maksimal. Selain itu, deradikalisasi agama juga harus dilakukan sedini mungkin, terutama dilakukan pada orang-orang yang belum mengalami radikalisasi agama, dilakaukan terhadap siswa sekolah agar benar-benar efektif dan menjadi salah satu solusi penanggulangan terorisme.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar