Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 26 Mei 2009

Dibalik Pembunuhan Ali bin Abi Tholib; Cinta dan Tipu Daya

Dibalik Pembunuhan Ali bin Abi Tholib; Cinta dan Tipu Daya

Oleh : Imam Mustofa*
Pertempuran sesunggunya akan menimbulkan image yang tidak baik bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Karena disadari oleh setiap orang bahwa perperangan bukanlah jalan terbaik yang harus ditempuh untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu permasalahan. Perperangan selalu saja membuahkan korban yang kerap tidak di diterima kematiannya oleh keluarga yang ditinggalkan. Setidaknya akan menanam rasa benci kepada yang dianggap telah bersalah, atau bahkan akan menumbuhkan tekat bulat dalam hati untuk membalas kematian itu.



Dibalik Pembunuhan Ali bin Abi Tholib; Cinta dan Tipu Daya

Oleh : Imam Mustofa*
Pertempuran sesunggunya akan menimbulkan image yang tidak baik bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Karena disadari oleh setiap orang bahwa perperangan bukanlah jalan terbaik yang harus ditempuh untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu permasalahan. Perperangan selalu saja membuahkan korban yang kerap tidak di diterima kematiannya oleh keluarga yang ditinggalkan. Setidaknya akan menanam rasa benci kepada yang dianggap telah bersalah, atau bahkan akan menumbuhkan tekat bulat dalam hati untuk membalas kematian itu.
Tidak terkecuali dalam Islam, tinta merah telah menggambarkan masa kekelaman yang pernah dialami. Akhir pemerintahan khalifah ketiga, Usman bin Affan, adalah awal masa kekelaman itu terjadi. Masa kekhalifahan Usman berakhir karena terbunuh. Tragisnya lagi muncul tuduhan bahwa Ali bin Abi tholiblah yang menjadi dalang semua peristiwa ini. Tuduhan ini semakin kuat karena Ali kemudian menjadi khalifah pengganti Utsman. Episode selanjutnya adalah tuntutan balas oleh keluarga Usman (bani umayah) kepada Ali dan pengikutnya. Demikianlah, sehingga terjadi berbagai perperangan antar kubu ahli bait dengan bani umayah yang keduanya adalah muslim.
Perperangan begitu menggemparkan dan memecah belah persatuan umat Islam pada waktu itu menjadi dua kubu; kubu Ali bin Abi Tholib dan kubu Mu'awiyah bin Abi Sofyan. Satu kubu lagi muncul setelah adanya tahkim (perdamaian) antara kedua kubu itu karena tidak menerima hasil tahkim yang dinilai tidak sesuai, yaitu kubu Khawarij, kelompok Ali yang menyeleweng. Anggota kelompok ini akhirnya bertekad mengakhiri krisis pada waktu itu dengan cara membunuh tiga pemimpin besar; Mu'awiyah, Amr bin 'ash dan Ali bin Abi Tholib.
Bagi seorang pembaca, cerita perperangan dan pembunuhan yang monumental biasanya mendebarkan dan menegangkan suasana kalbu. Apalagi sebelumnya hanya mengetahui sekilas, tidak tuntas. Demikian juga cerita yang dikisahkan oleh Jurji Zaidan dalam buku "Mendung di Atas Kufah" ini. Sebuah buku yang menceritakan detail terbunuhnya Ali bin Abi Tholib dan perpindahan khalifah ke tangan Mu'awiyah. Namun demikian, buku yang bertemakan sejarah ini disajikan dengan cara yang menarik dengan racikan kata-kata yang sangat mengesankan yang mampu menghilangkan kesan-kesan dan sisi kekerasan dalam peristiwa pembunuhan Ali karena dibungkus dengan romantisme kisah cinta. Inilah yang membuat buku ini mempunyai nilai plus.
Begitu mendebarkannya, sehingga terkadang hati tidak sabar ingin membaca bagian akhir buku untuk mengetahui ending kisah itu. Tapi, tidak semudah itu, pembaca akan terikat dengan 'lantunan' kalimat demi kalimat, pembaca akan betul-betul menikmati isi buku itu, karena sebuah kisah kekerasan, pembunuhan, peristiwa berdarah yang menegangkan itu dibingkai dengan kisah romantis sepasang insan yang berbeda persepsi dan tujuan satu sama lain. Yang pertama, murni atas dasar cinta sehingga dengan ketulusan cintanya, ia sanggup berbuat dan berkorban apa saja demi meraih cinta sang 'bidadari'. Tapi dipihak lain, keromantisan itu hanyalah sebagai trik untuk memperoleh hati sang 'bidadara' agar dapat membantu memperoleh tujuan yang telah lama dinantikan.
Said al Umawi adalah pemeran utama yang berada pada pihak pertama. Seorang pemuda yang masih 'hijau' dan lugu dalam hal percintaan, mencintai bidadari Kufah bernama Qutham binti Syuhnah yang berperan sebagai pihak kedua. Qutham memanfaatkan rasa tulus cinta Said untuk membalas dendam kepada Ali bin Abi Tholib yang dinilai menjadi dalang pembunuh ayahnya, karena mengikuti kelompok yang membelot dari Ali, kelompok Kawarij. Dengan modal kecantikan dan keceridaknnya, Qutham yang dibantu oleh seorang nenek tua, Lubabah, dan pembantunya, Raihan, berhasil menjebak Said dalam sebuah perjanjian mengikat untuk membunuh anak paman nabi itu. Walaupun kurang yakin dapat melakukannya, namun karena rasa cinta pemuda kalem ini sudah menggema di seluruh relung hati, demi mendapatkan cinta wanita yang telah lama diimpikan, akhirnya Said menyetujui juga.
Perjuangan untuk melaksanakan janji kepada sang buah hati bukanlah hal yang mudah. Said sering dihadapkan kepada dua pilihan yang sangat sulit untuk diputuskan, karena saling bertentangan. Diantaranya, janji Said kepada Qutham untuk membunuh Ali bahkan ditentang oleh Abu Rihab, kakek Said yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Berbagai alasan dan keterangan disampaikan sehingga diyakini Said pasti tidak akan mengingkarinya. Said akhirnya bersaksi dihadapan kakeknya untuk mematuhi keinginan kakeknya itu. Namun, di sisi lain wajah Qutham, bunga desa Kufah itu selalu membayanginya, mengingatkan agar perjanjian secepatnya dilaksanakan. Dengan sekuat tenaga, Said berusah mencari jalan keluar sehingga kedua permintaan yang bertentangan itu bisa dilaksanakan.
Usaha said itu ternyata berhasil, meskipun pada akhirnya jauh dari harapan. Jalan keluar yang didapatkan Said malah menjadi episode penjerumusan Said dan keponakannya, Abdullah, dalam jebakan sistematis Qutham, Lubabah dan Raihan. Beruntung Said bertemu dengan Khaulah, wanita Fusthtath yang cerdas, sopan, pemberani sekaligus jelita, anggun nan mwnawan. Dialah yang menyelamatkan mereka dari jebakan Qutham cs. Sebagaimana Khaulah terhadap said, rasa cinta Said juga sudah muncul ketika kali pertama melihat wajah Khaulah, hanya saja pada saat itu, serat-serat jiwa pemuda tampan ini masih terikat dengan Qutham. Sedangkan Khaulah sendiri tidak 'berani' menyatakannya secara terus terang. Setelah Said benar-benar menyadari bahwa selama ini ia dijebak dan dimanfaatkan oleh Qutham untuk membalaskan dendam atas kematian ayahnya, barulah benang-benang cinta Said mulai terajut untuk Khaulah.
sedangkan Qotham, setelah menyadari situasi yang kurang menguntungkan ini tidak lagi mengharapkan Said untuk menjalankan keinginannya. Melalui bantuan Lubabah, Qutham mendapatkan 'korban' baru. Tokoh Khawarij, Abdurrahman bin Muljam adalah korban itu. Dengan kecantikan dan kelicikan pula, Qutham dengan mudah merebut hati ibnu Muljam. Jebakan sistematis yang samapun diterapkan oleh qutham dan lubabah kepadanya. Yaitu membunuh Ali sebagai mahar (jaminan) Qutham dapat dimiliki.
Ibnu Muljam sesungguhnya telah memiliki rencana dan kesepakatan dengan kedua rekannya untuk membunuh tiga orang pemimpin pada waktu itu, termasuk Ali bin Abi Tholib. Ketika hampir tiba saat pembunuhan yang telah ditentukan, ibnu Muljam sempat memiliki niat untuk mengurungkan niat membunuh Ali. Tapi, reputasi, cinta dan harapan ibnu Muljam bisa hancur di depan Qutham dan Lubabah, karena telah ada perjanjian sebelumnya. Sehingga niat itu tetap dilanjutkan. Alipun terbunuh di tangan tokoh Khawarij itu. Sedangkan ibnu Muljam sendiri mati di tangan sahabat. Sungguh, kecantikan Qutham memang tiada tandingannya, sehingga siapapun pasti akan tergoda dan sanggup berkorban apa saja untuknya.
Kisah dalam buku itu diakhiri dengan kebahagiaan pada Said karena mendapatkan tambatan hati baru, Khaulah. Kebahagian terlihat jelas di wajah Said, masa kritis telah berlalu dan masa depan bisa dilalui dengan gadis pujaan hati. Apalagi dia dan Khaulah mendapat simpatik dari penguasa Mesir, Amr bin 'Ash. Walaupun wasiat Abu Rihab sepenuhnya tidak dapat dipenuhi, tapi setidaknya Said dan Abdullah telah berusaha sekuat tenaga, dan itu sudah sangat cukup bagi mereka.
Qutham berhasil dibunuh oleh Bilal, pembantu Khaulah, yang telah memendam benci karena perbuatannya yang menjerumuskan banyak orang kepada kematian. sedangkan Lubabah, tewas dibunuh Qutham saat mereka berdua dijebloskan ke penjara Amr bin Ash.
Dalam buku ini Jurji Zaidan sangat antusias mengdepankan unsur-unsur daya tarik dan kesan bagi para pembaca, namun demikian ia tidak kehilangan keseimbangan dengan mentolelir sikap dan perilaku yang menyimpang dari tatanan moral. Bahkan ia menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika. Tokoh-tokoh dalam cerita selalu ditonjolkan secara transparan, walau harus diakui bahwa fakta dan informasi mengenai tokoh-tokoh, peristiwa-peristiwa dan situs-situs sejarah belum begitu sempurna, dalam arti tidak disampaikan secara mendalam.
*Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar