Minggu, 23 Agustus 2009
SPIRIT PENDIDIKAN DALAM AL-QURAN* (Upaya Transformasinya dalam Kehidupan Umat di Era Global)
(Upaya Transformasinya dalam Kehidupan Umat di Era Global)
Oleh: Imam Mustofa, SHI., MSI**
A. Pendahuluan
Al-Quran merupakan bacaan yang sempurna dan agung. Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tetapi juga kandungan yang tersurat, tersirat bahkan sampai pada kesan yang ditimbulkannya. Bukan hanya itu, semua rangkaian Al-Quran mengandung kesucian. Artinya kesucian Al-Quran meliputi lafadz, makna, bentuk, suara, kehadiran fisiknya, termasuk juga pesan yang terkandung di dalamnya.
SPIRIT PENDIDIKAN DALAM AL-QURAN*
(Upaya Transformasinya dalam Kehidupan Umat di Era Global)
Oleh: Imam Mustofa, SHI., MSI**
A. Pendahuluan
Al-Quran merupakan bacaan yang sempurna dan agung. Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tetapi juga kandungan yang tersurat, tersirat bahkan sampai pada kesan yang ditimbulkannya. Bukan hanya itu, semua rangkaian Al-Quran mengandung kesucian. Artinya kesucian Al-Quran meliputi lafadz, makna, bentuk, suara, kehadiran fisiknya, termasuk juga pesan yang terkandung di dalamnya.
Al-Quran merupakan data base atau kitab pokok tuntunan moral dan bukanlah karya ilmiah, bukan juga ia sebagai kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Namun Al-Quran mengandung spirit terkait dengan semua bidang tersebut, bahkan menyangkut semua dimensi kehidupan manusia. Adanya ayat-ayat yang membicarakan masalah-masalah tersebut merupakan prinsip-prinsip dasar dan spirit yang sesungguhnya sebagai pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan di atas harus dilakukan sesuai dengan pesan moral agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.
Adanya ayat-ayat hukum misalnya, dicantumkan sebagai ajaran untuk ditegakannya hukum yang pada dasarnya keberadaanya adalah sebagai pengawal nilai moral yang ada dalam Al-Quran. Dengan adanya aturan-aturan hukum maka umat manusia diharapkan dapat menegakkan keadilan yang merupakan ajaran moral yang universal Al-Quran. Sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan, hukum, sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State, (1965) harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral, demikian dikatakan oleh Jeffrie Murphy dan Jules Coelman dalam buku The Philosophy of Law (1984).
Spirit Al-Quran mencakup berbagai bidang dan dimensi kehidupan manusia, bidang spiritual, moral, pendidikan, ekonomi, politik, seni, kebudayaan dan sebagainya. Spirit Al-Quran ini akan selalu hidup tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Manusia dituntut untuk mentransformasikan spirit ini di mana pun dan kapan pun.
Makalah singkat ini akan mencoba mengungkap sedikit spirit Al-Quran, khususnya spirit dalam bidang pendidikan. Lebih lanjut, penulis juga akan membahas tentang transformasi sprit pendidikan tersebut dalam konteks kehidupan umat Islam di era global.
B. Al-Quran Sebagai Ruh Kehidupan Umat
Salah satu nama Al-Quran adalah ¬ar-Ruh. Di antara ayat yang menunjukkan hal ini adalah surat al-Syura ayat 52:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus"
Mengenai kata روحا dalam ayat ini Ibnu Jarir at-Thabary yang merupakan ulama terbesar dalam bidang tafsir bilma'tsur menulis dalam kitabnya:
(وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ) وكما كنا نوحي في سائر رسلنا، كذلك أوحينا إليك يا محمد هذا القرآن.
Al-Ashfahani dalam kitabnya Gharibul Al-Quran juga berpendapat senada:
وسمى القرآن روحا في قوله: (وكذلك أوحينا إليك روحا من أمرنا) وذلك لكون القرآن سببا للحياة الاخروية الموصوفة في قوله: (وإن الدار الآخرة لهى الحيوان) والروح التنفس.
Pernyataan di atas searah dengan pernyataan al-Jashshash. Dalam hal ini al-Jashshash dalam kitabnya Ahkam Al-Quran mengatakan:
وَإِنَّمَا سَمَّاهُ رُوحًا مِنْ حَيْثُ كَانَ فِيهِ حَيَاةُ النَّاسِ فِي أُمُورِ دِينِهِمْ.
Jadi yang dimaksud ruh dalam ayat tersebut adalah Al-Quran. Memang, pada umumnya para mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud kata ruh dalam ayat tersebut adalah Al-Quran. Hal ini cukup logis, karena dengan Al-Quran apabila manusi mau membaca, menelaah mendiskusikan kandungan Al-Quran serta mau dan mampu berinteraksi dengannya, maka ia akan merasakan betapa arti kehidupan yang sesungguhnya. Berkaitan dengan hal ini Ibnul Qoyyim al-Jauziyah mengatakan:
فجعل وحيه روحا ونورا فمن لم يحيه بهذا الروح فهو ميت ومن لم يجعل له نورا منه فهو في الظلمات ماله من نور.
As-Sa'dy dalam tafsirnya mengatakan bahwa dengan Al-Quran maka perdaban hati manusia akan hidup, yang berimplikisai pada hidupnya kemashlahatan baik di dunia maupun akhirat. Karena dengan hidupnya hati maka manusia akan terangsang dan termotivasi menjadi manusia yang lebih maju, lebih tahu, lebih berwawasan pada gilirannya dapat membangun peradaban di muka bumi ini. Dengan demikian sebenarnya kata ruh juga sudah menjadi semacam kiasan. Ruh juga dapat diartikan sebagai semangat, sebagai kekuatan yang membangkitkan.
Memang, Al-Quran sendiri juga ruh, atau memiliki ruh atau memancarkan ruh. Karena Al-Quran memberikan daya hidup, spirit dan vitalitas. Sebagai kitab petunjuk, Al-Quran dapat membangkitkan semangat dan menggerakkan orang untuk bertindak. Al-Quran juga memancarkan cahaya. Jika ada cahaya, maka akan meihat jalan, dan jika melihat jalan maka ia akan berjalan mencapai tujuan.
Seorang yang memiliki pengetahuantentang wahyu Ilahi (Al-Quran) maka ia akan memiliki ruh kehidupan. Karena sebagaimana disebutkan dalam Surat asy-Syura ayat 52, bahwa Allah telah mengisi Al-Quran dan kitab-kitab lainnya dengan kekuatan yang membangkitkan. Dan kebangkitan itu tentunya bukan terjadi pada Al-Quran sebagai benda, melainkan pada manusia yang telah terisi dengan wahyu ilahi, atau nilai-nilai spirit Al-Quran.
Ibarat dalam sebuah medan perang, Al-Quran adalah panglima yang memimpin langsung pasukan umat Islam, memotivasi dan memberikan semangat mereka. Al-Quran membimbing pasukannya menuju kepemimpinan yang jujur. Teguran dan larangan datang dari Al-Quran sesuai dengan kejadian yang sedang berlangsung. Dalam sebuah kesempatan ia mengatakan kerjakan ini, jangan kerjakan itu, itu musuhmu, dan ini kawanmu.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka bagi siapa saja yang menghendaki dirinya lebih hidup, baik hati maupun fikirannya, mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan, maka yang harus ia lakukan adalah mempelajari Al-Quran dan mengamalkan spirit yang ada di dalamanya. Spirit yang ada di dalam Al-Quran mencakup berbagai bidang dalam kehidupan manusia, masalah aqidah, ibadah, akhalaq, menyangkut masalah pendidikan, ekonomi, politik, kebudayan, seni dan sebagainya.
C. Spirit Pendidikan dalam Al-Quran
Emmanuel Kant (1724-1804), sebagaimana dikutip oleh Zuhairini dan Mantep Miharso menyatakan bahwa manusia dapat menjadi manusia karena pendidikan. Maka sudah sangat wajar Al-Quran dengan spiritnya mendorong manusia untuk menempuh pendidikan. Spirit pendidikan yang tertuang di dalam Al-Quran dengan berbagai bentuk dan redaksinya, baik secara tersurat maupun tersirat sangat banyak. Bahkan Ayat yang pertama kali turun adalah ayat terkait dengan proses pendidikan, yaitu surat al-'Alaq ayat 1-5:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Ayat di atas diawali dengan kata Iqra' yang secara jelas adalah perintah untuk membaca. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis. Jadi obyek perintah Iqra' mencakup segala hal yang dapat dijangkau oleh manusia.
Perintah membaca merupakan suatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama justru dimulai dari suatu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dari Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan lahirnya karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Al-Quran.
Perintah membaca ini tidak hanya satu kali, yang berarti membaca harus berulang-ulang agar dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif dari obyek yang dibaca, baik yang berupa ayat qauliyah maupun kauniyah. Ini saja sudah menunjukkan betapa Al-Quran mendorong dan momotovasi umat manusia untuk mencari ilmu pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang sebanyak-banyaknya. Hal akan berjalan efektif dan optimal apabila dilalui dengan membaca. Karena membaca merupakan perangkat pokok dalam keberhasilan sebuah pendidikan. Pendidiakan akan maju apabila peserta didik serius dan bersungguh-sungguh dalam membaca dan sarana bacaan yang ada tercukupi dan representatif.
Ayat lain yang sering digunakan untuk melegitimasi seruan Al-Quran untuk menempuh pendidikan adalah surat at-Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
Kata (ليفقهوا) terambil dari kata (فقه) yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf (ت) ta' pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya tersebut pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar pengetahuan.
Kata فقه di sini bukan terbatas pada yang diistilahkan dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqih, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum agama Islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui penalaran terhadap dalil-dalil yang rinci. Tapi kata فقه di sini mencakup segala macam pengetahuan mendalam. Pengaitan تفقه (pendalaman pengetahuan itu) dengan agama, agaknya untuk menggarisbawahi pengetahuan itu, bukan dalam arti pengetahuan tentang ilmu agama. Pembagian disiplin ilmu-ilmu agama dan ilmu umum belum dikenal pada masa turunnya Al-Quran, bahkan tidak diperkenalkan oleh Allah swt. Yang diperkenalkan-Nya adalah ilmu yang diperoleh dengan usaha manusia kasby (acquired knowledge) dan ilmu yang merupakan anugerah Allah tanpa usaha manusia (ladunny /perennial).
Ayat di atas menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarkan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari mempertahankan wilayah. Bahkan pertahanan wilayah berkaitan erat dengan kebenaran informasi dan kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.
Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tidak langsung menuntut manusia untuk membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan, keterampilan wawasan, dan pengalaman, agar ia tidak menjadi generasi yang lemah, baik lemah intelektual, mental, spiritual dan khususnya finansial. Dalam hal ini bisa ditelaah dalam surat an-Nisa' ayat 9:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."
Dalam menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir mengutip sebuah hadis:
وثبت في الصحيحين: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما دخل على سَعْد بن أبي وقاص يعوده قال: يا رسول الله، إني ذو مال ولا يرثني إلا ابنة، أفأتصدق بثلثي مالي؟ قال: "لا". قال: فالشَّطْر؟ قال: "لا". قال: فالثلث؟ قال: "الثلث، والثلث كثير". ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إنك إن تَذر وَرَثَتَك أغنياء خَيْر من أن تَذَرَهم عَالةً يتكَفَّفُون الناس"
Ayat di atas menunjukkan pentingnya pendidikan keterampilan kepada generasi penerus peradaban. Perintah agar tidak mewariskan generasi yang lemah terutama lemah ekonomi adalah wajar. Usaha ini dapat dilakukan dengan membekali generasi muda dengan ilmu pengetahuan dan berbgai skill, baik soft skill maupun hard skill atau ketrampilan. Kesemuanya ini, khususnya keterampilan atau keahlian ini dapat diberikan melalui pendidikan. Apabila proses transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan ini berhasil, maka generasi yang kita tinggalkan akan menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi.
Sedemikian besar dorongan Al-Quran kepada umat manusia untuk menjalani proses pendidikan, lebih-lebih umat Islam. Proses penghayatan dan pengamalan spirit Al-Quran itu harus selalu ditingkatkan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perputaran roda zaman. Kebutuhan pendidikan di era modern sekarang ini tentunya berbeda dengan pada masa Al-Quran itu turun. Oleh karena itu, dalam memahami pesan-pesan Al-Quran harus disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang, dalam hal ini para mufassir kontemporer harus bisa menyajikan dan memformulasikan pesan dan spirit Al-Quran secara kontekstual. Intinya adalah bagaimana spirit Al-Quran itu tidak hanya berada pada deretan huruf dan berdiam diri bersemayam dalam ayat, ia harus dibawa keluar dari "persemayamannya" menuju relaitas dan setiap aktifitas kehidupan.
Selama roda zaman masih berputar, permasalahan yang dihadapi manusia juga akan berjalan mengikuti alur perjalanan zaman. Dan ini merupakan sunnatullah yang harus dijalani oleh manusia. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai permasalahan itu manusia harus mampu membekali dirinya dengan pengetahuan, dalam hal ini bersumber dari spirit Al-Quran dan Hadits Nabi atau teks agama. Teks-teks tersebut tidak lebih dari deretan huruf dan onggokan ayat tanpa makna jika tidak dibaca dan diinterpretasikan oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang berperadaban, selalu menuntut dan memunculkan fenomena-fenomena baru yang selalu membawa problem dan membutuhkan pemecahan. Oleh karena itu pemikiran manusia, termasuk pemikiran keagaman Islam, tidak akan pernah berhenti dan tidak akan pernah sepi di manapun ia berada.
Pada masa modern sekarang ini pengetahuan ilmu pengetahuan merupakan faktor paling besar yang mempengaruhi munculnya kebutuhan-kebutuhan baru dan juga unsur-unsur kehidupan baru kepada apa tafsir-tafsir modern memberikan responnya. Didorong kenyataan tertindasnya kaum muslimin oleh kekuatan lain (khususnya Barat), para mufassir modern beranggaan bahwa kaum muslimin pada umumnya belum memahami spirit dan pesan dalam Al-Quran secara sempurna. Mereka kurang bersentuhan dengan semangat ilmiah dan rasional seperti yang diimbau oleh teks-teks Al-Quran sehingga dalam hal lapangan ilmu pengetahuan serta kebudayaan jauh tertinggal oleh Barat. Pada dasarnya umat Islam telah menyadari akan ketertinggalannya itu sudah lebih dari seratus tahun yang lalu. Umat Islam juga sudah memperlihatkan kesadarannya akan perlunya memperbarui pendidikan tradisional dan mengintegrasikan ilmu pengetahuan yang lama dengan yang modern.
D. Transformasi Spirit Al-Quran di Era Global
1. Globalisasi sebagai ancaman dan tantangan
Globalisasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend kebudayaan dunia. Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kebudayaan global dan kiblat bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi gaya hidup (life style). Bersamaan dengan itu, era modern telah melahirkan banyak kreasi berbagai fasilitas untuk mempermudah memenuhi kebutuhan manusia. Fasilitas dan peralatan yang canggih hasil kreasi manusia itu mengalirkan nilai-nalai baru dari luar, yaitu peredaran dan pertukaran kebudayaan.
Globalisasi berasal dari kata Globalisme, yakni paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik. Selama proses tersebut berjalan, tentunya penuh dinamika yang menuntut setiap negara menata Rumah Tangganya seideal mungkin. Atas nama “tatanan dunia baru” itulah globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan batas-batas geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya.
Menurut John Tom Linson dalam sebuah tulisan “Cultural Globalization: Placing and Displacing the West” sebagaimana dikutip oleh Amer Al-Roubaie mengintisarikan globalisasi sebagai berikut:
“Proses hubungan yang rumit antarmasyarakat yang luas dunia, antarbudaya, institusi dan individual. Globalisasi merupakan proses sosial yang mempersingkat waktu dan jarak dari pengurungan waktu yang diambil baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dengan dipersingkatnya jarak dan waktu, dunia dilihat seakan-akan semakin mengecil dalam beberapa aspek, yang membuat hubungan manusia antara yang satu dengan yang lain semakin dekat.”
Globalisasai terjadi pada setiap negara, tidak ada satu organisasi atau satu negara pun yang mampu mengendalikannya. Simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan. Akbar S. Ahmed dan Hastings memberi batasan bahwa globalisasi “pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal yang bisa dijangkau dengan mudah.
Teori globalisasi menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia, penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme global, munculnya even-even olahraga internasional, penyebaran dunia pariwisata, menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya sistem militer global (baik dalam bentuk peace keeping force, pasukan multinasional maupun pakta pertahanan regional dan lain-lain), pengakuan tentang terjadinya krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan berskala dunia (seperti AIDS), munculnya lembaga-lembaga politik dunia (seperti PBB), munculnya gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.
Berangkat dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan. Pertama, sebagai ancaman. Dengan alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon, VCD, DVD dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola atau internet, kita dapat menyaksikan hiburan porno dari kamar tidur. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat konsumtif. Kondisi ini diboncengi neoliberalisme dan modernisasi melaju diiringi pesatnya revolusi IPTEK. Dunia tanpa batas yang menganut aliran kebebasan, kebebasan berkreatifitas, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melahirkan budaya baru dan mempengaruhi tatanan budaya lokal yang islami. Bukan hanya itu, kecanggihan teknologi yang metransformasikan nilai-nilai budaya luar bisa mereduksi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kebudayaan lokal.
Kedua, sebagai tantangan. Di pihak lain, jika globalisasi itu memberi pengaruh hal-hal, nilai dan praktik yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi umat manusia untuk mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak yang tidak mengalami benturan dengan budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai agama. Sebagai tantangan, globalisasi menuntut semua orang untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan wawasan yang memadai. Dalam konteks kebudayaan, masyarakat lokal yang kental dengan Islam dituntut mempunyai kepedulian dan perhatian yang serius terhadap kebudayaan mereka dengan melestarikannya, sehingga kebudayaan mereka tidak tenggelam dalam arus dan gelombang kebudayaan asing.
Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk “imperialisme budaya” (culture imperialism) Barat terhadap budaya-budaya lain. Dalam sebuah makalah yang berjudul Haritage, Culture and Globalization Amer al-Roubaie, seorang pakar globalisasi di International Institute of Islamic Thuoght and Civilization, International Islamic University Mlaysia (ISTAC-IIUM) mencatat:
“Telah dipahami secara luas bahwa gelombang trend budaya global dewasa ini sebagian besar merupakan produk Barat, menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik dan berbagai bentuk media dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti penjajahn budaya (culture imperialism), penggusuran kultural (cultural cleansing), ketergantungan budaya (cultural dependency), dan penjajahan elektronik (electronic colonialism) digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap masyarakat non-Barat”
Menurut ZA. Maulani, Pada dasarnya konsep globalisasi yang dirancang oleh Barat adalah upaya untuk mengkonsolidasikan segala kekuatan; ekonomi, politik, militer dan pertahanan dalam satu sentral, yaitu Amerika, Eropa, Jepang dan Cina. Dan jika ditelusuri lebih dalam, konsep globalisasi ini sebenarnya telah dirancang dan berjalan cukup lama. Fenomena ini telah dimulai menjelang berakhirnya Perang Dunia II.
2. Bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi globalisasi?
Melihat realitas tantangan dan ancaman globalisasi yang sedemikian besar, maka umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan hanya menjadi penonton kemajuan umat lain. Umat Islam harus bangkit dengan semangat yang telah diajarkan Al-Quran. Al-Quran mendorong manusia untuk belajar berbagai ilmu, baik yang berkaitan langsung dengan agama, amupun tidak, atau sering disebut dengan istilah ilmu umum. Artinya Al-Quran mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Umat Islam harus mampu mentransformasikan spirit Al-Quran dengan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Transformasi secara etimologi adalah perubahan rupa, bentuk sifat dan sebagainya. Mentransformasikan berarti mengubah bentuk, rupa, sifat, fungsi dan sebagainya. Jadi mentransformasikan spirit Al-Quran di era global berarti mengamalkan semangat Al-Quran yang bersemayam dalam deretan huruf atau ayat dalam bentuk nyata sesuai dengan perkembangan zaman di era global sekarang ini. Karena semangat atau spirit Al-Quran masih abstrak, ia akan menjadi konkret atau nyata apabila sudah diubah menjadi tindakan nyata yang merupakan wujud dari semangat yang ada dalam Al-Quran. Transformasi tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman sebagaimana telah disinggung di atas. Namun demikian, ia harus tetap birpijak pada nilai spirit dan moral Al-Quran sebagaimana yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw.
Di era global ini kita harus aktif. Kalau kita sebagai umat Islam hanya menjadi penonton, maka hanya akan menjadi konsumen. Umat Islam akan semakin tertinggal jauh dalam berbagai bidang; dan ini akan membahayakan eksistensi kebudayaan kita. Karena umat lain memang menghendaki kerusakan terjadi pada diri umat Islam, terutama moral dan spiritualnya. Mereka tidak hanya menyerang secara fisik, lebih dari itu, yaitu melalui penjajnjahan pemikiran dan kebudayaan dengan merusak moral generasi umat Islam. Di tengah berkecamuknya Perang Salib, Peter Venerabilis, membuat pernyataan: (But I attack you not, as some of us [Christians] often do, by arms, but by words; not by force, but by reason; not in hatred, but in love…); yang artinya “… aku menyerangmu, bukan sebagaimana sebagian dari kami [orang-orang Kristen] sering melakukan, dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan, namun dengan pikiran; bukan dengan kebencian, namun dengan cinta…”
Petrus Venerabilis mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus).
Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh kaum Kristen, agar mereka dapat “membaptis pemikiran kaum Muslimin”.
Selain tantangan di atas, tantangan lain adalah upaya Para intelektual Barat untuk mempelajari Al-Quran dengan tujuan untuk mencari kelemahan dan membelokkan pemahaman umat Islam tentang Al-Quran. Pada tahun 1834 di Leipzig, seorang orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan "mushaf" hasil kajiannya yang dinamakan Corani Textust Arabicus. Selanjutnya pada tahun 1860Theodor Noeldeke berusaha merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qoran. Pada tahun 1927 Alphonse Mingana, Pendeta Kristen asal Irak dan Guru Besar di Universitas Birmingham Inggris mengungkapkan bahwa sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Quran sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Selanjutnya pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi Mushaf Utsmani dan membuat mushaf baru.
Maka sudah seharusnya kaum muslimin mencuarahkan perhatian yang lebih besar terhadap kitab sucinya ini. Karena, sebagaimana dikatakan oleh Wilfred Cantwell Smith " Islam is today living trough that crucial, creative moment in which the heritage of its past is being transformed into the herald of its future. Outsiders may study analyze interpret the process: Muslims themselves not only may but must participate in it. Jangan sampai Al-Quran malah dipelajari dan spirit untuk meningkatkan dan memupuk kecerdasan intelektualnya diamalkan oleh umat lain dan digunakan untuk menyerang umat Islam, baik secara fisik maupun psikis.
Kita harus mencontoh generasi pertama umat Islam. Karena mengamalkan spirit Al-Quran dengan bersungguh-sungguh maka kaum muslimin generasi pertama dapat membangun peradaban yang sangat maju dan mengungguli peradaban-peradaban besar yang bertengger di puncak dunia saat itu, yaitu pemikiran dan kejiwaan Persia serta filsafat Romawi. Karena Islam dengan bimbingan Al-Quran menawarkan metode kehidupan yang sama sekali baru, yaitu dari logika dan dialektika yang utopian yang tidak membumi, menuju logika eksperimental yang empiris. Menatap kedalaman semesta dan mendorong manusia untuk mempelajarinya. Selain itu Al-Quran juga memberi stimulus kepada manusia untuk menggali hukum-hukum Allah swt. yang dipancangkan dalam semesta ini untuk kemudian dengan pengetahuan itu mempergunakan semesta ini bagi kemaslahatan manusia dan pembangunan peradaban mereka.
Selain kita harus mentransformasikan spirit Al-Quran dalam bidang pendidikan intelektual, kita juga harus mentransformasikan moral-spiritual dan emosional. Hal ini dilakukan agar perkembangan pendidikan intelektual yang berimplikasi pada diciptakannya teknologi modern agar tetap membawa kemaslahatan bagi manusia.
Kemajuan teknologi di era global harus dijiwai oleh semangat untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, kemajuan ilmu pengetahuan yang berimlikasi pada munculnya media komunikasi dan informasi sebagai produk era modern yang telah mampu mentransfer kebudayaan ke seluruh penjuru denyut nadi kehidupan masyarakat global dengan sangat mudah dan cepat harus diimbangi dengan kecerdasan moral spiritual. Hal ini dilakukan agar tujuan kemaslahatan ilmu pengetahauan tidak tereduksi oleh produk ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu hilangnya jiwa atau spiritual Al-Quran dari nafas kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam yang berakibat terjadinya dekadensi moral. Karena, diakui atau tidak, bahwa ideologi ilmu pengetahuan di era modern sudah bergeser. Ilmu pengetahuan modern menganut ideologi positivisme, scientisme dan modernisme yang membantu legitimasi destruksi terhadap bentuk-bentuk lain dari pengetahuan.
Konsep pendidikan Al-Quran bukan hanya pendidikan intelektual yang hanya meningkatkan kecerdasan otak. Lebih dari itu, Al-Quran sebenarnya menekankan pendidikan mental-spiritual dan emosional. Hal ini bisa dilihat dari contoh yang diberikan oleh Al-Quran dalam konsep pendidikan Anak dalam keluaraga. Dalam hal ini Al-Quran menjadikan keluarga Luqman al-Hakim sebagai pilot project pendidikan mental-spiritual dan pendidikan moral. Dalam surat Luqman ayat 13 dilukiskan bahwa pertama kali penddikan yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya adalah Tauhid, yang merupakan kunci pokok pendidikan spiritual. Dari matangnya spiritualitas ini maka manusia akan dapat mentransformasikan keagungan moral Al-Quran dalam kehidupan, baik individu maupun dalam sosial-masyarakat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
Jadi Al-Quran mendorong manusia untuk menjalani proses pendidikan mental-spiritual, intelektual dan emosional. Ketiganya sama-sama penting. Seseorang mendapatkan pengetahuan hanya berorientasi pada pengembangan kecerdasan akal atau Intelegensi Quotient (IQ), akan menghasilkan jiwa materialistik karena muatan materi ajarnya mengesampingkan kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) dan kecerdasan spiritual atau Spritual Quotient (SQ) bagi pendidikan umum. Akan tetapi dalam pendidikan lslam SQ menduduki proporsi lebih besar bila dibandingkan dengan IQ dan EQ.
Ketiga kecerdasan itu sangatlah berperan dalam mengantarkan keberhasilan seseorang dalam mengarungi kehidupan global. Tetapi sulit bagi manusia untuk memperoleh ketiga kecerdasan itu, ada kalanya manusia itu kecerdasan intelektualnya rendah, sehingga perlu dipupuk kecerdasan emosionalnya, demikian pula sebaliknya. Ada seseorang lulusan dari perguruan tinggi dengan predikat kumulatif rata-rata rendah tetapi setelah masuk ke dunia kerja malah menjadi sukses. Hal itu menurut Daniel Goleman karena mahasiswa tersebut memiliki kecerdasan emosional yang tinggi karena ia mampu mengelola diri sendiri, mampu berhubungan dengan orang lain, mampu bekerja dalam kelompok. Akan tetapi sebaliknya mahasiswa yang kumulatif tinggi tetapi bias jadi ia tidak berhasil dalam pekerjaannya.
E. Penutup
Sebagai catatan penutup penulis menyampaikan satu hal yang perlu digarisbawahi terkait pengamalan spirit pendidikan dalam Al-Quran, yaitu jangan sampai kesungguhan kita untuk mendalami suatu llmu menghalangi semangat kita untuk mendalami ilmu yang lain, atau bahkan antipati terhadap ilmu lain yang seolah tidak berkaitan dengan agama. Semua ilmu harus dipelajari, selama ia bermanfaat dan membawa kemashlahatan manusia. Jangan sampai semangat kita untuk menalami ilmu Al-Quran, menghalangi ghirah kita untuk mendalami ilmu fisika, kimia, informatika atau ilmu pengetahuan lainnya. Kita tidak boleh alergi dengan ilmu-ilmu lain yang menurut kita tidak "Islami". Karena pada dasarnya semua ilmu pengetahuan itu dari Allah dan bertujuan untuk membangun kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Keberhasilan generasi Islam terdahulu karena mereka belajar berbagai bidang ilmu dengan bersungguh-sungguh dengan tanpa mendikotomikannya. Kita bisa melihat contoh Al-Ghozali, yang bisa menguasai ilmu bahasa, ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawwuf filsafat dan sebagainya; Imam Syafi'i mempelajari ilmu bahasa, sastra, AlQuran, ilmu hadis, ilmu tafsir, fiqih, ushul fiqih dan sebagainya; Ibnu sina yang ahli filsafat yang juga memperdalam ilmu kedokteran, sehingga menjadi "Bapak Kedokteran Dunia"; Ibnu Rusyd yang menjadi ahli fiqih juga menjadi ahli astronomi. Jabir Bin Hayyan, seorang "Bapak Kimia" juga ahli dalam bidang sejarah bangsa Yunani Kuno, ahli astronomi, ilmu ukur, logika, dan lain sebagainya; Al-Khawarizmi, Matematikawan ulung yang ahli dalam bidang sejarah; Al-Kindi, seorang filosuf handal, juga menguasai kimia, fisika, tata bahasa, persajakan, ilmu kedokteran, seni dan sebagainya. Dan masih banyak lagi ilmuan muslim yang tidak hanya menguasai ilmu agama, akan tetapi juga ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Rasulullah saw. Pernah bersabda yang maksudnya kurang lebih demikian "Sesungguhnya di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak/ buruk, maka seluruh jasadnya, ketahuilah daging tersebut adalah hati".
Berangka dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa hati merupakan pusat dari segala aktivitas anggota badan kita. Hati merupakan komando segala gerak-gerik kita. Oleh karena itu apabila menghendaki kebaikan pada aktivitas anggota badan, kita harus mulai dengan memperbaiki hati. Karena apabila hati telah baik maka baiklah seluruh jasad. Dan sebaliknya apabila hati yang merupakan pusat penggerak anggota badan telah rusak maka akan rusaklah seluruh pergerakan anggota badan.
Menelaah hadis di atas, maka sangat wajar apabila Erich Fromm, seorang psikolog sekaligus sosiolog pernah mengatakan "Jika ingin membangun bangsa, bangunlah masyarakatnya; Jika ingin membangun masyarakat, bangunlah keluarganya; Jika ingin membangun manusia, bangunlah hatinya."
Berangkat dari pemaparan di atas, penulis mengajak kaum muslimin untuk menghidupkan dan memperbaiki hati kita dengan memperbanyak membaca Al-Quran. ……
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar