Minggu, 23 Agustus 2009
MENGGAPAI KESEMPURNAAN PUASA
MENGGAPAI KESEMPURNAAN PUASA
Oleh: Imam Mustofa
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt yang telah memberikan kesempatan kita untuk bertemu dengan bulan suci Ramadhan untuk yang kesekian kalinya. Namun harus kita ketahui bahwa Ramadhan yang menemui kita kali ini bukanlah Ramadhan yang datang pada tahun-tahun sebelumnya. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang mempunyai banyak keistimewaan yang tidak dimiliki oleh sebelas bulan lainnya. Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah diwajibkannya puasa di bulan ini bagi orang-orang yang beriman.
Puasa yang secara sederhana dapat kita artikan “menahan diri”. Yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Yang dimaksud membatalkan puasa di sini bukan hanya membatalkan ibadahnya secara hukum, akan tetapi juga mencakup hal-hal yang membatalkan hakekat, tujuan dan membatalkan pahalanya. Kalau puasa dimaknai hanya menahan diri dari yang membatalkan ibadahnya secara hukum, maka hal ini tidak seberat ketika dimaknai menahan diri segala yang membatalkan hakekat, tujuan dan pahala puasa.
Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum serta memasukkan benda ke dalam salah atu lubang angggota tubuh kita, akan tetapi lebih dari itu, pauasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkannya secara hukum juga manahan diri dari segala sesuatu yang dibenci oleh Allah baik lahir maupun batin Nabi Muhammad saw bersabda ”Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar daan dahaga”. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hakekat puasa bukan hanya menahan diri dari lapara, dahaga dan bersetubuh.
Imam al-Ghazali dalam buku yang berjudul Cahaya di Atasa Cahaya mengatakan “Kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak disenangi oleh Allah. Seyogyanya engkau juga menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna, menjaga telinga dari mendengarkan, hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara, yang karenanya dia juga dikategorikan sebagai orang yang menggunjing. Begitu juga engkau harus mengontrol seluruh anggota badan sebagaimana engkau menjaga perut dan kemaluan”.
Berkaitan dengan hal di atas banyak sekali hadits Rasulullah yang menerangkan diantaranya: ”Lima hal dapat membatalakan puasa, yaitu berbohong, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat.” Nabi juga bersabda”Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang dari engkau berpuasa janganlah dia berkata jelek, melakukan maksiat, dan berpura-pura bodoh. Jika ada orang yang mau membunuh atau mencercanya, maka dia harus mengatakan bahwa aku sedang berpuasa.” Dalam hadits lain Rasulullah bersabda”Barang siapa tidak meninggalkan kata-klata kotor dan perbuatan keji, maka usahanya meninggalkan makan dan minum tidak berarti bagi Allah.”
Dari hadits-hadits di atas Imam Al- Nawawi dalam kitab Syarah Bidayatul Hidayah Al-Ghazali memberikan kesimpulan bahwa kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan dari segala hal yang tidak di senangi oleh Allah, yaitu dosa. Itulah puasa orang-orang shaleh yang kemudian disebut dengan puasa khusus. Kesempuranaan puassa akan tercapai dengan lima hal. Pertama, menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi Allah dan segala hal yang dapat melengahkan diri dari mengingat-Nya. Rasulullah bersabda: ”Pandangan adalah salah satu panah beracun iblis terkutuk”. Barang siapa yang tidak melihat hal-hal tersebut karena takut kepada Allah niscaya Allah akan memberinya keimanan yang manisnya dapat dirasakan dalam hatinya. Kedua, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna. Hal-hal yang bermakna adalah segala hal yang berkitan dengan keselamatan manusia di akhirat dan kebutuhan hidupnya yang bisa menyenangkannya dari rasa lapar, menghapus dahaga, menutup aurat dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Bukan kebutuhan untuk berhura-hura. Ketiga, menjaga telinga dari hal-hal yang diharamkan Allah swt. Orang yang mendengar adalah teman si pembicara. Sebab segala hal yang haram diucapkan, juga haram untuk di dengar. Keempat, berbuka puasa dengan makanan yang halal. Puasa yang berfungsi menahan diri dari barang yang halal tidak akan bermakna bila ditutup dengan berbukan makanan yang haram. Orang yang melaukan hal demikian seperti orang yang membangun sebuah istana kemudian menghancurkannya. Kelima, ketika berbuka tidak makan terlalu banyak jika kita hanya memindahkan jatah makan kita pada pagi atau siang hari ke malam hari, maka puasa kita tidak bermanfaat. Artinya, di antara etika puasa adalah tidak makan terlalu kenyang, terutama pada waktu berbuka. Hal ini berkaitan dengan sisi pengaruh puasa, yaitu melemahkan (baca; mengendalikan) syahwat yang merupksan temapt berjalannya setan di dalam tubuh sejalan denganaliran darah kita. Oleh karena itu barang siapa yang berbuka dengan porsi yang berlebihan dihukumi seperti orang yang tidak berpuasa, karena ia belum mampu mengendalikan syahwatnya untuk makan.
Untuk mendapatkan kesempurnaan puasa kita tidak cukup hanya dengan menjaga anggota badan bagian luar dari hal-hal yang tidak disenangi Allah, kita juga harus menjaga anggota bathin, yaitu hati. Maksiat batin juga harus kita enyahkan, karena juga akan merusak kesucian makna puasa. Sumber utama maksiat ini adalah hati. Kita harus membersihkan penyakit-penyakit hati seperti, sombong, ujub, congkak, iri, dengki, riya’ (pamer) dan berbagai penyakit hati lainnya yang dapat mengurangi atau bahkan membatalkan tujuan puasa. Penyakit-penyakit ini nampaknya sangat sederhana, padahal sangat berbahaya karena dapat membakar amal baik kita sebagaimana bara apai yang meluluhlantahkan kayu yang sudah kering. Jadi untuk mendapat kesempurnaan puasa marilah kita hindari penyakit-penyakit ini dengan cara dengan mencari sebab-sebab penyaki itu dan menyadari akibat-akibat negatif yang akan ditimbulakknnya. Terapinya harus dilakukan dengan latihan terus-menerus untuk membersihkan dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu suci. Karena pada hakekatnya kewajiban kita hanyalah mempertahankan kesucian yang telah dianugerahkan Allah kepada kita sejak kita dilahirkan. Obat penyakit-penyakit itu tidak dijual di apotek-apotek atau dokter praktek. Penyakit-penyakit ini berasal dari dalamdiri kita, dan obatnya pun berada dlam diri kita.
Begitu Banyak rintangan yang dihindari oleh orang yang berpuasa agar ia benar-benar samapi tujuan puasa, yaitu membentuk pribadi yang bertaqwa. Taqwa yang secara lughawi (bahasa) mengacu pada pengertian tentang orang-orang yang memeliharanya. Jadi sangatlah wajar jika banyak hal yang harus dijauhi olah orang yang berpuasa, karena sesuai tujuannya yaitu agar menjadi orang yang memelihara dan terpelihara. Terpelihara dirinya, baik dirinya pribadi mapun lingkungan dari tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama maupun terpelihara dirinya dalam konteks social, konteks yang lebih luas.
Namun imbalan yang disiapkan Allah bagi orang yang berpuasa lebih besar dan lebih banyak dripada rintangan dan godaan yang dihadapi ketika menjalankannya. Begitu besarnya imbalan yang dijanjikan Allah, tiada seorangpun yang mengetahuinya kecuali sendiri, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi yang artinya”Setiap satu kebaikan berkelipatan sepuluh hingga tuju ratus, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku akan mengganjarnya sendiri”. Hal ini berarti imbalan yang akan diberikan Allah tidak ditentukan ukurannya.
Semoga kita dapat menjalankan puasa dengan sempurna agar puasa kita dapat diterima di sisi Allah, sehingga kita mendapatkan predikat pribadi yang bertaqwa juga mendapatkan ridho dan imbalan yang telah disiapkan-Nya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar